[3] Teman Jadi Musuh Mematikan

33 5 1
                                    

"Sekuat apa pun aku menghindar, aku tetap harus ada di lingkaran ini. Pilihanku satu-satunya hanyalah: tabah."

40 HARI TANPA KAMU

💌💌💌

Selamat belajar ....

Hari ini perasaanku cukup baik. Aku melangkah ringan sambil memasang senyum samar, wajah cerah tanpa make-up tebal, dan menikmati kesibukan yang sudah biasa di jalan. Tidak ada yang berbeda, tetapi aku senang saja melihatnya. Toko-toko sudah dibuka. Maklum saja ini sudah jam sembilan, dan mereka mengharapkan pembeli datang sebanyak mungkin dengan buka lebih pagi.

Dengan langkah ringan aku melenggang masuk kelas, duduk di samping Friska yang sibuk ber-selfie ria. Siapa pun akan tahu kalau Friska adalah Ratu Selfi dan paling sering update story di Instagram.

"Lan, sini ikutan," katanya sambil mengarahkan kamera langsung ke depan kami.

Aku melihat ke arah kamera. Setelah tersenyum dan berpose seadanya, Friska menekan tombol dan memotret. "Lagi, lagi."

"Udah. Gue lagi nggak mood," kataku pelan sambil mengeluarkan ponsel. "Ajak Fhika aja."

Setelah itu aku tidak tahu menahu apakah Friska benar-benar mengajak Fhika yang duduk di sampingnya atau tidak. Rutinitas yang dilakukan hampir semua mahasiswa di kelasku: masuk kelas, meletakkan tas, duduk, kalau ada topik menarik untuk dibicarakan bercerita dulu, atau memainkan ponsel sepertiku.

Semuanya berjalan seperti biasa. Mahasiswa-mahasiswi lainnya berdatangan, dosen masuk, mulai belajar, mendengarkan pemakalah yang duduk di depan kelas berlima orang, terjadi tanya-jawab, dosen menambahkan penjelasan tentang materi, setelah itu usai. Pulang adalah hal paling membahagiakan, setelah dosen tidak masuk kelas.

Aku pun berkemas seadanya. Menyandang tas punggungku. Menunggu teman di depanku beranjak, barulah aku menyelip di antara kursi-kursi yang mulai berantakan untuk keluar bersama mereka.

"Ternyata kesampaian juga cita-cita dia dulu. Curhat ke gue tuh, Mit. Pengen berhijrah."

Kata-kata itu menghentikan langkahku. Aku kenal suara itu. Aku hapal nada suaranya. Tisa melipat kedua lengan di depan dada, menatap tajam, dan tersenyum sinis saat aku menoleh. Di sampingnya, Mitha, si pemilik wajah sok polos, dan senyum palsu berdiri di samping Tisa.

"Kenapa? Tersinggung? Emang yang berhijrah elo sendiri?"

Jelas aku tersindir. Yang memakai jilbab panjang hanya aku dan Aida. Aida sendiri sudah sejak awal masuk kuliah berjilbab panjang dan berpakaian dalam. Kemudian aku yang baru saja menghebohkan seiisi kelas dan mengundang sorot mengejek. Akhirnya aku mengabaikan saja. Berjalan cuek menuju pintu, menyusul Wina.

"Dasar munafik. Jilbabnya aja yang dalam, tapi hatinya masih busuk."

Aku menelan ludah pahit. Mendengarnya membuat jantungku berdebar kencang. Emosi seperti tumpah keluar dari kepalaku. Tanganku terkepal. Dengan segenap kekuatan yang ada aku berbalik, dan terkejut mendapati Tisa sudah ada di depanku sambil memelototkan mata.

"Sebenarnya lo ada masalah apa sih sama gue? Gue dengar selama ini lo sibuk mengurus kehidupan gue dan memprovokasi anak-anak di kelas," kataku berusaha tenang.

Sontak beberapa orang yang masih tersisa di kelas langsung menatap seru ke arah kami.

Wajah gadis di depanku ini semakin sombong. Salah satu sudut bibir atasnya terangkat, tersenyum judes. "Kapan gue memprovokasi mereka? Emang lo aja yang pantas mendapatkannya, 'kan?" Kepalanya dimiringkan, dan memandang remeh padaku.

40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutkan di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang