[14] Pembicaraan Panjang

10 2 0
                                    

"Oh, jadi bakal diadakan lusa?" tanyaku setelah Radit menjelaskan panjang lebar tentang acara yang akan dia buat di aula kampusku. Lebih tepatnya Dema FEBI mengadakan seminar besar-besaran yang melibatkan salah satu Event Organizer untuk membantu melebarkan target peserta seminarnya. Apalagi mengundang narasumber luar negeri yang kini menetap di Jakarta. Bekerjasama dengan dua kampus ternama di Padang, yaitu UNP dan UNAND. Dan Radit adalah alumni UNAND yang masih memegang kendali EO yang dia bangun bersama kawan-kawan kampusnya. Sekalian, dia akan menjalankan penggalangan dana lagi atas nama Yayasan. Sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui, begitulah katanya. Aku hanya mengangguk-angguk meski tak begitu mengerti tentang kegiatan di balik layar yang cukup ribet tersebut.

"Iya. Kamu mau hadir?" Radit mendongak. Sialnya kami malah duduk berhadapan di kafe sederhana dekat kost. Aku meliriknya sekilas, lalu memandang ke arah jalan yang ribut akan kendaraan berlalu-lalang karena ini adalah jam pulang kantor ataupun pekerja lainnya. Bukittinggi terkenal sebagai kota dagang dan wisata, jadi tak heran jika sebagian besar pekerjaan warganya adalah berdagang.

"Liat nanti," sahutku pelan. Seharusnya aku sudah di kost dan mengisi perut. Namun Radit malah mengajakku mengobrol sebentar, dan berjanji akan memesankan makan malam untukku. Meski sudah menolak, tapi dia tetap bersikukuh membelikan. Walau dalam hati aku sebenarnya senang dengan pertemuan ini.

"Datang, ya. Ini aku kasih tiket gratis." Kulihat tiket seminar berbayar berwarna putih dan merah itu di atas meja dekat mangkuk mi rebus yang sudah habis isinya. Kuambil tiket itu dan membacanya sekilas. "Tapi ini kan VIP." Itu artinya aku duduk di barisan depan setelah para tamu undangan lainnya.

Radit tersenyum saat aku mendongak. "Nggak apa-apa."

"Nggak enak."

"Santai. Harga tiketnya nggak bakal bikin rugi EO aku, kok."

Suasana di kafe tidak ramai, pun tak begitu sepi. Desain yang unik dengan kursi dan meja terbuat dari kayu, tanpa menghilangkan kesan bentuk asli kayunya, menjadikan kafe ini instagrameble untuk para pengunjungnya. Hanya aku saja yang tak pernah berfoto di sini. Lagi pula ini kali pertama aku datang ke kafe yang dibilang teman-temanku estetik. Papan menu yang ditulis dengan kapur seperti papan tulis anak SD dengan berbagai macam warna. Ada buku bacaan di salah satu dinding kafe yang berhadapan denganku. Sengaja ditaruh untuk mengisi waktu pengunjung. Tentunya ada WiFi yang bikin betah mahasiswa untuk duduk berlama-lama sambil mengerjakan tugas. Pesan segelas minuman, internetan berjam-jam.

Aku menatap lagi kertas di tangan. Tema leadership yang sudah biasa pada seminar-seminar kebanyakan yang aku ikuti. Selain membosankan, aku hanya ingin mendapatkan sertifikat itu untuk syarat sidang skripsi nanti.

"Jangan lupa datang, ya. Kamu nggak ada kuliah 'kan jam segitu?"

Suara Radit yang ramah kembali menarik atensiku. "Ada, sih. Cuma sampai jam setengah satu." Dari jarak sedekat ini aku bisa melihat tatap matanya yang lelah, mungkin dia sudah harus beristirahat. Bola mata Radit berwarna cokelat.

"Pas banget, acaranya sampai jam tiga. Kamu bisa hadir setelah Zhuhur."

Aku menunduk lagi, merasa salah tingkah bertatapan lama-lama dengannya. "Insya Allah. Kalau aku nggak ada kegiatan lain."

"Please, datang, ya."

Sejujurnya aku tak mengerti dengan sikap Radit yang sedari tadi terkesan memaksaku untuk menuruti keinginannya. Aku bukan orang yang mau mengikuti kemauan orang lain apabila sampai mengganggu waktu sendiriku. Tapi aku juga tak bisa menolak ketika seseorang memohon.

Akhirnya aku lempar senyum sebagai jawaban. Tepat saat jam menunjukkan pukul enam, Radit mengantarku pulang dengan jalan kaki, sebagaimana kami ke kafe tadi.

40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutkan di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang