[21] Sebuah Catatan Tangan

6 3 0
                                    

"Iya, obat yang nggak perlu diminum."

💌💌💌

"Jangan keseringan diam. Ntar kesambet."

"Hah?" Aku terkejut saat Radit berdiri tiba-tiba.

"Ke sana, yuk. Aku udah bertahun-tahun nggak ke sini, terakhir itu pas kuliah, deh."

Dia mengayun-ayunkan tangan di kedua sisi tubuh, sambil menatap lurus ke arah Jam Gadang. Aku pun memutar tubuh, dan berdiri mengikutinya yang kini sudah berjalan lebih dulu. Kami naik turun tangga yang tak seberapa di taman tersebut sampai di gerbang dekat jalan. Berseberangan langsung dengan tempat yang akan kami tuju. Radit berjalan di sebelah kiriku, merentangkan tangan untuk menahan kendaraan yang lewat searah.

"Wow. Nggak nyangka udah sekeren ini. Dulu tempat duduknya masih yang biasa itu kan, biru warnanya. Cukup buat tiga orang aja," komentar Radit, melihat ke sekeliling taman yang dipenuhi banyak bunga. Tempat duduk melingkar dengan lampu shadow lighting di tengah-tengah bercorak batik. Di beberapa sisi pun dipasang lampu pier mount light setinggi 2,5 meter.

"Eh, kok air mancurnya nggak nyala?"

Kami sampai di pagar tempat air mancur yang tak menyala. Dengan beberapa lampu sorot di tepian kolam yang melingkar, menghadap langsung ke arah jalan. Jika lurus, maka bertemu dengan masjid Jami' tempatku dan Radit pernah salat beberapa waktu lalu
"Biasanya malam aja nyalanya," jawabku. Menatap hal yang sama dengan Radit.

"Oh, sayang banget aku nggak bisa lihat. Pasti keren."

"Hm," gumamku. Radit pun berbalik, aku mengikuti. Aku tak banyak berkata saat dia sibuk mengagumi keindahan taman yang kalau terik tak ada indah-indahnya di mataku. Sebab sinar matahari membakar kulit, panas, gerah, hanya itu yang terasa.

"Eh, itu bukannya pasar atas yang kebakaran dulu, ya? Wow, keren ya kayak mall. Boleh masuk sana nggak, sih?"

Pertanyaan Radit terdengar norak.

"Boleh," sahutku ringkas. Kemudian aku mengikuti Radit berjalan ke arah barat, di mana gedung pasar atas bertingkat tiga yang kini mengalahkan mewahnya Ramayana. Tapi terlalu banyak ruang kosong di tengah-tengah, layaknya museum. Bahkan jika mengadakan konser kecil-kecilan bisa sekali. Toko-toko kecil yang kupastikan lebih kecil dari kamarku itu mengisi setiap sisi mall.

"Ada bioskop, nggak? Gimana kalau kita nonton?" Jika didengar oleh penduduk sini bisa-bisa mereka tertawa karena ucapan Radit.

"Enggak ada. Cuma Timezone tuh, di atas." Aku menunjuk ke bagian atas searah dengan pintu masuk kami tadi.

"Yah, sayang banget. Masa isinya cuma orang jualan aja." Dia berdecak sambil menaikkan bahu.

"Ya emang dari dulu ini tempat orang jualan baju. Bukittinggi itu salah satu pusat perdagangan terbesar di Pulau Sumatera tahu, makanya rata-rata warganya berdagang."

"Kalau wisatanya?"

"Nah, kan udah terkenal sama sebagai kota wisata. Ada Jam Gadang tuh tadi, Ngarai Sianok, terus ada lobang Jepang, Kebun Binatang, Benteng Fort de Kock, yang dihubungkan sama Jembatan Limpapeh. Dulu masih jembatan kayu, kalau jalan suka bikin jantungan, sekarang udah canggih. Ada rumah kelahiran Bung Hatta, yang jadi wakil presiden pertama Indonesia. Bukittinggi itu luar biasa tahu. Walaupun kecil." Sepertinya aku cocok jadi tour guide karena fasih sekali menyebutkan beberapa tempat di kotaku.

"Banyak banget, dong."

"Banyaklah."

"Kapan kita ke sana bareng?"

40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutkan di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang