[19] Dipanggil Ketua Jurusan

7 2 0
                                    

"Wulan. Wulan. Wulan."

Suara berisik diikuti ketukan pintu yang tak henti-henti seperti perang dunia di kepalaku. Sontak aku mendesis, merasakan pusing yang membuatku kembali terpejam.

"Wulan, bangun!"

Ah, itu Tata. Kamarku masih gelap, tirai jendela belum kubuka. Tanganku meraba-raba lantai untuk mencari ponsel. Dengan sedikit menyipit aku melihat jam sudah menunjukkan pukul setengah dua belas siang. Langsung saja mataku melotot, aku spontan duduk, melihat sekeliling. Kenapa aku bisa tidur selama ini?

Segera aku berjalan untuk membukakan pintu. Wajah Tata yang ternganga membuat aku sadar kalau dia sebenarnya sudah pulang kuliah, sebab jadwal dihari Jumat hanya satu dan pulang di jam sebelas siang.

"Astaghfirullah, Wulan! Kebo banget. Sekarang baru bangun. Tadi tu kita kuliah, Wulan nggak ingat?"

"Aduh, ini juga gorden nggak dibuka. Wulan begadang nonton drakor apa gimana? Nggak biasanya gini?"

Tata terus mengomel, sambil masuk ke kamarku, membukakan tirai, hingga cahaya matahari masuk. Aku menutup mata dan menghambur ke kasur. Menyelimuti seluruh tubuh.

"Wulan, bangun, ih!"

Tubuhku digoyang-goyang oleh tangan Tata yang berisi. Lalu kurasakan dia duduk di samping ranjang.

"Kenapa sih, Tata? Wulan ngantuk," ucapku pelan. Aku sama sekali tak ada semangat untuk beranjak dari kasur.

"Wulan kenapa nggak kuliah? Satu kampus heboh sama kasus kemarin."

Mendengar itu membuatku terdiam. Beberapa detik kemudian aku membuka selimut. Menatap Tata dengan sorot was-was. "Kasus?"

Tata tak langsung menjawab. Dia menghela napas panjang, kemudian melepas ransel dan meletakkannya di lantai. Dia menepuk pelan bagian bahuku, kemudian berucap, "Ada yang videoin tentang ribut-ribut di depan aula kemarin dan--"

"APA?" Aku bangun dan menatap Tata dengan mata melotot. "Aw!" Aku meringis memegangi kepala, rasa pusing menyentak kepalaku karena gerakan tiba-tiba itu.

"Wulan sakit?"

Aku mendorong pelan tangan yang hendak menyentuhku. "Tata, yang bener? Video ... Video Wulan kemarin?" Aku mengerjap-ngerjap, berharap jika yang aku pikirkan tidak terjadi.

Tata mendesah, menatapku sejenak. "Kenapa Wulan nggak pernah cerita apa-apa selama ini sama Tata? Tata kan juga teman Wulan. Kita udah dekat setahun lebih. Tata anggap Wulan sahabat. Harusnya Wulan nggak perlu mendam sendiri."

Aku terdiam dibuatnya. Mataku bergerak-gerak gelisah, sampai akhirnya hanya bisa menunduk dalam. Kurebahkan punggung pada kepala ranjang. Meski Tata tak menjawab pertanyaanku, sudah bisa dipastikan kalau kasus yang dimaksud adalah perdebatanku dengan Tisa kemarin. Aku menyeka rambut pendek yang sudah terlihat acak-acakan ke belakang. Merasakan mataku memanas. Lagi-lagi aku tak dapat menahan semua kesedihan yang datang tanpa permisi. Bahkan aku tak pernah siap sama sekali.

"Wulan?"

Panggilan lembut dari Tata tak membuatku bergerak sama sekali. Meski kini dia sudah menepuk-nepuk bahuku pelan. Bahkan di depan Tata pun aku malu mengakui jika memang kenyataan itu benar adanya. Ke mana harus aku sembunyikan wajah ini? Aku merasa duniaku di kelilingi oleh kegelapan, ditatap oleh mata-mata mengintimidasi.

Aku mengusap air mata, setelah cukup lama menangis di hadapan Tata. Aku menghirup napas dalam-dalam, lalu mengembuskan perlahan. Begitu beberapa kali untuk menenangkan hati. Rasanya berat untuk menatap Tata, tapi aku tak mungkin mengabaikannya terus. "Tata tahu dari mana?" tanyaku di sela-sela napas yang terputus-putus.

40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutkan di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang