[12] Ujian atau Takdir Tuhan?

16 2 0
                                    

"Kenapa cinta ibu pilih-pilih? Padahal aku melakukan lebih dari yang anak laki-lakinya lakukan. Tapi ibu sama sekali tak menghargai usahaku."

💌💌💌

Bunyi ketukan pintu mengambil alih kesadaranku. Suara Wina memanggil-manggil di luar memaksaku bergerak dari tempat tidur untuk membukakan pintu.

"Kok lo pulang aja sih, Lan?" tanya Wina, dia memberikan tas yang kuterima dengan diam. "Gue ke klinik. Lama banget nunggunya, soalnya pintu ketutup."

"Makasih, ya," kataku, "gue pengen cepet pulang aja. Sorry, udah bikin lo nunggu."

Kulihat Wina mengangguk, tapi aku sama sekali tak mempersilakan dirinya untuk masuk. Sebab aku sedang ingin sendirian.

"Lo nggak apa-apa?"

"Gue, oke. Lo nggak jadi pulang? Atau mau di sini dulu?" tawarku berbasa-basi.

"Maaf ya, Lan. Gue mau nemenin lo, tapi gue masih ada kerjaan di rumah. Chat gue aja nanti kalau ada apa-apa, yah."

Aku berusaha memahami kesibukan Wina yang dengan bekerja bersama abangnya, uang jajannya akan terbantu. Jadi aku lepas kepergian Wina dengan lambaian tangan. Setelah itu aku kembali masuk, mengambil ponsel dari dalam tas. Ternyata sudah banyak pesan masuk. Aku mendesah panjang. Akhir-akhir ini aku sangat jarang memegang ponsel, jadi aku putuskan mengirim pesan pada salah satu temanku untuk mengatakan jika aku akan off selama beberapa waktu ke depan. Aku belum bisa mengontrol waktu dan perasaan. Merenungi nasib membuat waktuku tak menentu. Sehingga tak jarang pesan menumpuk menuntutku untuk menyelesaikan beberapa tugas sebagai admin.

Mungkin sejenak aku harus mengistirahatkan otak agar tak berpikir lebih banyak. Cukuplah sikap Tisa saja yang membuat pusing kepalaku. Aku tatap cuaca cerah di luar jendela. Harusnya sekarang aku pulang ke rumah. Tapi aku masih menolak melakukannya. Padahal ayah tak akan ada di rumah sama sekali. Kubiarkan ibu sendirian bersama kesepian. Aku hanya berdua bersaudara, abangku sudah bekerja di Padang. Dan dia akan pulang sekali sebulan. Jadi dia tak tahu banyak soal cerita rumit kami selama ini. Hanya dengan berbicara panjang di telepon yang membuatnya pulang, berharap bisa menyelesaikan masalah ini. Namun hasilnya nihil, perpisahan tetaplah terjadi, dan ayah pergi bersama wanita yang menjadi selingkuhannya selama dua tahun terakhir.

Sungguh, aku tak menyangka bila ayah bulat dengan keputusannya hari itu. Aku bahkan tidak mau hadir ke persidangan mereka. Bagiku, buat apa aku hadir jika tak mengubah apa pun. Setelahnya, aku tak mau tahu ada apa dengan kabar ayah. Meski dulu dia sering menyebut-nyebut banyak hutang dan wanita itu yang melunasinya, aku benar-benar tak peduli.

Kemudian aku teringat pada amplop yang ayah masukkan ke dalam saku gamisku kemarin. Kuambil benda cokelat itu dari atas lemari. Membuka isinya yang terdapat beberapa lembar uang ratusan ribu. Aku berdecih. Sebenarnya aku tidak sudi memakainya, tapi apa boleh buat, tanpa kertas-kertas ini aku tak bisa hidup selama beberapa waktu ke depan.

Sejak awal tahun ini, uang jajanku pun meningkat lima puluh persen dari sebelumnya. Biasanya aku sudah ngos-ngosan menyisakan uang jajan untuk ongkos pulang, tapi kini di akhir pekan pun aku bisa membeli beberapa camilan dan masih ada sisanya. Dulu aku selalu ngirit, saat jam istirahat mata kuliah, aku memilih pulang saja dan makan di kost. Menolak ajakan teman yang ingin makan di kantin. Apalagi di belakang gedung C, Fakultas Matematika, surganya jajanan yang bikin kenyang perut mahasiswa.

"Gue senang lihat lo menderita. Dengan itu sakit hati gue terbalaskan. Lo itu nggak pantas bahagia."

Kumasukkan kembali uang itu, dan menaruhnya asal. Aku menghambur ke kasur dan merebahkan badan. Rasanya hari-hariku semakin berat. Ayah sudah pergi, bahkan mengajakku tinggal dengannya, ibu yang kesepian dengan hati terluka, Tisa yang secara terang-terangan akan membuatku menderita. Aku mendesah, tanpa dia melakukan itu aku sudah menderita jauh sebelum mengenal dirinya.

40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutkan di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang