[15] Skandal

9 3 0
                                    

"Udah Lan, nggak usah bikin ribut. Gue nggak suka lo kayak gini. Jangan sampai niat baik lo dalam berubah dikalahkan sama ego."

💌💌💌

Kertas berwarna putih merah dengan tulisan namaku itu masih menjadi objek menarik sejak semalam. Kupandangi sepanjang jalan, tak menyangka bila Radit tahu nama lengkapku. Entah aku pernah menyebutkannya, aku tak tahu bagaimana dia bisa mengetahuinya.

Kususuri lagi jalan setapak yang kini terasa agak membosankan. Dua tahun lebih tak ada yang berubah, kecuali hanya pemandangan ada kedai kecil baru atau perbaikan rumah yang sengaja dilakukan untuk membuat kamar kost-kostan lagi. Tanah yang agak lembek membuat sepatu kets berwarna putih milikku belepotan di sekeliling sisinya. Ketika sampai di depan sebuah rumah aku duduk di tembok tamannga, dan mengelap sepatu dengan dedaunan. Beberapa mahasiswa perempuan yang berlalu-lalang melihat, namun aku biasa saja.

Kulirik jam tangan, kurang dari sepuluh menit lagi jam masuk kelas. Aku terlambat karena Wina juga terlambat mengabari. Saat aku sudah siap menanti dia datang menjemput, tiba-tiba pesan darinya mengatakan bila sudah sampai di kampus. Aku agak kecewa, tapi dengan terpaksa aku harus berjalan lebih cepat. Meski dalam hati aku merutuki kenapa dia tak mengatakan sejak awal?

Tidak apa-apalah, lagi pula dia bukan ojek pribadi yang bakal selalu setia menjemput dan mengantarkan aku pulang. Meski aku sendiri kadang keberatan jika dia mengantarku terus sampai depan kost. Sesekali aku meminta turun di persimpangan depan saja dengan alasan ingin belanja dulu. Berteman dengan Wina memang lebih terasa dewasa, tapi lama-kelamaan aku mulai merasakan ada perubahan darinya. Mungkin dia capek harus ke kost-ku dulu untuk menjemput, mungkin juga berat hari mengantarkan pulang. Padahal dulu aku tak pernah meminta, tapi dia saja yang terbiasa melakukannya. Barangkali juga sifatku tak sesuai dengan kepribadiannya.

Sepertinya jalanku tak secepat biasanya. Aku menaiki tangga menuju lantai dua gedung K. Karena kelasku kali ini bersebalahan dengan tangga, jadi aku bisa melihat ketika berbelok selangkah ke kanan lewat kaca bila teman-teman kelasku sudah ramai. Saat masuk, mereka tampak memperhatikan ponsel masing-masing, nyaris semuanya. Tak terkecuali Wina yang duduk di sudut kiri kelas. Tata letak kursi liter U membuat menjadi pusat perhatian ketika melewati tengah kelas menuju kursi Wina. Aku keheranan, namun tak mau ambil pusing.

"Pada liatin apa, sih?" bisikku agar tak terdengar nyaring karena kelas terasa sunyi.

Wina pun menoleh dengan wajah datar. Dia memberikan ponselnya dan memperlihatkan sebuah video singkat yang nyaris membuat mataku keluar dari tempatnya. Segera kuambil ponsel dari dalam tas. Mulutku langsung terbuka lebar saat melihat video itu dikirimkan ke grup kelas. Kiriman itu baru saja ada sepuluh menit lalu, itu artinya saat aku masih di perjalanan.

Aku menutup mulut. Melihat dengan dada sesak video yang menampilkan tentang pembicaraanku dengan Tisa di WhatsApp pada semester dua lalu tentang pertanyaannya apakah aku akan datang melayat ke rumah Wina atau tidak, lalu video aku berbicara dengan Tata bila aku mengatakan tak ingin pacar-pacaran yang langsung dibantah oleh kumpulan foto-fotoku bersama Radit di depan gerbang fakultas kemarin, di kafe, saat membeli makanan, dan sampai ke depan kost.

Kutatap Tisa yang saat ini sedang tersenyum merekah ke arahku. Menunjukkan seolah dia sudah berhasil menjatuhkanku. Wajahku memerah, saat aku menggebrak meja, semua mata tertuju padaku dalam diam. Aku langsung berdiri dan berjalan ke arah Tisa yang berada di sisi kiri kelas dekat dengan jendela. Kali ini aku tak bisa lagi diam atas semua perlakuannya. Jelas saja itu sudah mencoreng mukaku di depan semua anak kelas.

"Maksud lo apa buat kayak gini?"

Tisa memiringkan kepala saat mendongak menatapku. "Maksud apa, sih?" Suaranya terdengar santai dan memuakkan di telingaku. Namun mataku masih menatapnya dengan amarah di kepala.

"Lo sengaja nyebarin ini ke grup kelas maksudnya apa? Gue nggak ngerti jalan pikiran lo bisa sebusuk ini, ya!"

Wajah semringah tadi berubah dingin, dia berdiri dan melayangkan tatapan tajam.  "Heh!" Dia mendorong bahu kiriku dengan kasar hingga aku mundur beberapa langkah. "Lo nggak perlu ngerti jalan pikiran gue, karena lo itu nggak tahu gimana rasanya jadi gue! Sementara sekarang lo bisa menutupi salah lo dengan pakaian kayak gini, lo nggak mikirin kalau gue benci sampai ubun-ubun lihat muka lo."

Kini kami berdua sudah pasti menarik perhatian di kelas.

"Terus mau lo apa?" Aku tak kalah berteriak. Dan hal itu memancing berapa pasang mata yang melewati depan kelas mengintip dari jendela. Apa pun ekspresi mereka, aku sudah tidak peduli. Hanya wajah angkuh Tisa yang memenuhi pandanganku saat ini. Kebencian pun seketika tubuh membesar di dada dalam sekejap.

"Gue mau lo menderita!" desisnya. Jarak kami yang dekat membuatku bisa membaca tatapan Tisa bahwa dia sedang tidak bermain-main.

Mataku memanas, aku benci jika harus ada air mata di depannya lagi. "Nggak cukup dengan apa yang lo kasih selama ini?"

Tisa menegakkan tubuh, melipat tangan di depan dada. "Nggak cukup. Sampai rasa sakit hati gue tuntas. Lo nggak bakal gue biarin bahagia."

Aku tak tahu kenapa tak bisa berkata-kata setelah mendengar ucapannya. Bahkan tak ada yang terlintas di benakku untuk membalasnya dengan suara. Tanganku terkepal di kedua sisi paha, dengan air mata yang terasa pedih mengalir di kedua pipiku. Sementara Tisa melipat kedua tangan dengan senyum licik

"Kapan rasa sakit hati lo tuntas, hah?" tanyaku dengan suara parau. Kini aku berharap bila semua ini hanya mimpi, ketika pintu tertutup oleh kerumunan mahasiswa.

"Nggak tahu, sampai lo keluar dari kampus ini mungkin. Sampai lo hilang dari pandangan gue!"

Ketika aku akan mengangkat tangan untuk menampar wajah itu, tangan Wina sudah lebih dulu menahan. Aku menatapnya matanya yang lagi-lagi tak bisa aku mengerti. Jujur saja gerakan tadi refleks karena aku terbawa emosi.

"Lo nggak perlu berbuat sejauh ini," ucapnya dingin.

Aku menatapnya tak percaya. "Win, lo tahu 'kan dia ini terang-terangan mau bikin gue menderita? Lihat semuanya di kelas bahkan udah terprovokasi sama ucapan dia." Aku membantah dengan menunjukkan semua teman-teman yang sudah menjadikanku tontonan seru tanpa ada yang membantu.

"Terus lo maunya apa?"

Dahiku mengerut, semakin bingung dengan sikap Wina yang belum pernah kulihat sebelumnya.

"Win! Lo...."

"Udah Lan, nggak usah bikin ribut. Gue nggak suka lo kayak gini. Jangan sampai niat baik lo dalam berubah dikalahkan sama ego."

Setelah mengucapkan itu, Wina mengambil tasnya, kemudian pergi dari kelas tanpa menatapku sama sekali. Mataku melepas kepergiannya di antara ramainya mahasiswa-mahasiswi yang berada di depan kelas. Sebagain dari mereka buru-buru bubar, sebagian lagi masih berdiri masa bodoh seperti wartawan yang kehausan topik untuk berita.

"Ahahaha...."

Suara tawa Tisa mengolok-olok diriku yang kini sendirian di tengah-tengah kelas. Wajah menyedihkan dengan air mata berserak di kedua pipi. Kutatap sekeliling yang kini hanya menundukkan pandangan masing-masing menghindari tatapan meminta tolongku. Sementara Tisa sudah kembali duduk sambil berbisik pada Mitha di sebelahnya, tetapi tatapannya masih mengarah padaku.

Dengan kaki yang terasa lemas dan dada yang dihantam kenyataan pedih ini, kupaksakan melangkah mengambil tas di atas kursi, lalu mendekati pintu yang begitu terasa jauh untuk digapai. Mahasiswa yang berkerumun tadi memberiku jalan. Akhirnya setelah lolos, aku ditelanjangi oleh mata-mata dengan berbagai makna sepanjang aku menyusuri lorong menuju tangga. Aku harus pergi. Aku harus menjauh dari semua ini.

Di mana Engkau, Allah? Kenapa Kau tak membantuku untuk mengenyahkan mereka semua?

💌💌💌

Ingkar janji lagi. But, I hope you like this part.
😭😭
Bagian paling pendek banget😥

40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutkan di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang