[22] Hari-hari yang Berbeda

8 2 0
                                    

"Kita melakukan ini bukan untuk orang lain, bukan untuk mencari pengakuan di mata orang terpenting bagi kita, melainkan untuk mendapatkan pengakuan dari diri kita sendiri."
Baca Buku Ini Saat Engkau Lelah,-Hal. 119

💌💌💌

Diskorsing menjadi pengalaman pertama yang kujalani selama di masa pendidikan. Aku yang gila belajar meski tak pernah mendapat nilai tinggi pun merasa tak nyaman berada di kamar dua puluh empat jam. Sudah tiga hari berlalu, aku membiasakan hal baru yang ada di dalam challenge Radit. Aku penasaran, apakah dia bangun di waktu yang sama denganku?

Radit tak mengizinkan kami untuk berkomunikasi selama challenge berlangsung. Katanya, fokus saja pada diri sendiri dan isi waktuku dengan membaca tiga buku yang dia berikan. Aku menatap langit pagi yang cerah dari balik jendela. Jam menunjukkan pukul delapan pagi dan aku baru saja selesai shalat Dhuha. Hari ini aku juga berpuasa, tapi aku tidak mandi sebelum Subuh. Sebab udara pagi-pagi sekali sangat dingin mencapai enam belas derajat, airnya seperti es jika menyentuh kulit.

Aku membuka mukena, dengan mata yang sedikit terkantuk-kantuk, aku mengambil handuk untuk segera mandi. Aku bangun jam tiga pagi, langsung shalat tahajud dan mengaji menjelang salat Subuh. Baru kemarin aku bergabung ke grup WhatsApp 'One Day A Half Juz'. Aku memilih setengah juz setiap harinya sebab aku takut tak konsisten membaca dua halaman setiap selesai salat, karena terkadang di siang hari aku salat di masjid kampus, atau terjeda di antara jadwal kuliah.

Selesai membersihkan diri, aku membuka nasi goreng ala anak kost bermodalkan bawang goreng dan bumbu instan. Aku membuka ponsel dan melihat grup kelas sedang membahas tentang jadwal masuk yang ternyata diundur ke jam sepuluh. Seharusnya hari ini aku ikut presentasi makalah Audit bersama yang lain, tapi karena dipaksa cuti, aku menitipkan saja makalah yang sudah diselesaikan kepada Tata.

Tanganku terus membaca ke atas hingga melihat video yang Tisa kirimkan beberapa hari lalu. Aku kembali membukanya. Membaca tulisan yang kini mulai terasa hambar. "Katanya nggak mau pacar-pacaran, tapi kok...." Diikuti foto-fotoku dengan Radit yang diambil dari belakang saat kami berjalan beriringan keluar kampus, dan dari depan kafe.

"Kalau kalian punya teman kayak gini, apa yang bakal kalian lakuin?" Screenshot chat-ku ditampilkan setelahnya.

[Wulan, nggak pergi
melayat ke rumah Wina?]

[Mau pergi, Tis. Tapi duit
gue nggak cukup buat ongkos.
Besok gue mesti pulkam juga.]

Lalu bersambung dengan pembahasan kami tentang cerita absurb Hendri dari jurusan ekonomi yang kami taksir.

[Tapi biarin aja sih,
nggak ada ngaruhnya buat gue.]

Lalu diikuti kata-kata kasar yang menyematkan emoticon tertawa di sepanjang kolom chat.

[Lo tahu kan, kalau gue
kecewa aja sama dia dulu.
Padahal Rike cuma manfaatin
Wina. Makanya gue ngejauh
aja sekalian.]

Dan Tisa memotong bagian chat selanjutnya saat aku menuliskan bila aku tak dendam sama sekali dengan Wina. Mau berteman dengan siapa pun aku tak melarangnya, aku senang memiliki banyak teman. Asal Wina tahu saja kalau memiliki teman baru, jangan sampai lupa pada teman lama.

40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutkan di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang