[7] Bertemu Ayah

17 2 0
                                    

"Jika dalam hidup kita bisa memilih takdir mana yang akan dijalani, aku memilih tak mau bernapas di dunia ini."

💌💌💌

Aku mendesah panjang, setelah mengakhiri doaku, mengusap wajah dengan kedua telapak tangan. Kulihat keluar matahari sangat terik. Aku bangkit, membuka mukena dan menggantung dengan gantungan baju di belakang pintu. Tak ada jadwal setelah Zhuhur di hari Jum'at, jadi aku merasa senang bisa berleha-leha di kasur.

Aku membuka ponsel, melihat status WhatsApp teman-teman yang kebanyakan kukenal dari sosial media. Rata-rata mereka berasal dari pulau Jawa. Ada juga penulis Medan, Palembang, NTT, juga Kalimantan. Bahkan ada yang beda agama, tetapi tak ada yang menjadikan penghalang bagi kami untuk berkomunikasi pasal literasi. Sejak mengenal mereka, aku jadi lebih banyak pengalaman soal dunia luar.

Nama Raditia ikut mengisi daftar status di sana. Dia sedang meng-upload foto bersama tiga orang temannya di dekat tangga sebuah gedung memakai baju batik karena biasanya hari Jum'at para karyawan menggunakan itu. Setelah sering berbalas pesan, ternyata dia bekerja di sebuah yayasan. Hm, aku mulai tertarik mengenalnya. Apalagi saat dia mengirimkan aku voice note sepuluh ayat pertama Ar-Rahman. Kalau kata orang-orang, aku langsung kesemsem.

Dalam hati aku langsung memekik, kenapa aku dulu mengabaikannya? Bagaimanapun, seleraku dalam melihat laki-laki sudah berbeda. Aku selalu mencari laki-laki yang lebih dewasa beberapa tahun dariku, ilmunya luas, bisa mengajarkan aku yang buta akan agamaku sendiri. Pembicaraannya pun tak muluk-muluk. Bukan lagi menanyakan "lagi apa?", "sudah makan?". Tetapi selalu ada pembahasan menarik di pembicaraan kami.

Aku menggeleng kuat, saat sadar telah menekan layar telepon cukup lama, menahan agar status WhatsApp-nya tak bergulir ke yang lain. Aku pasti sudah mulai gila karena berkhayal sambil memandangi fotonya. Tubuh atletis, tinggi, dan berpakaian rapi. Astaga sadar, Wulan. Zina mata.

Aku segera menjauhkan ponsel dari hadapanku. Terakhir kali dia mengajakku bangun bersama untuk shalat malam, sampai sekarang belum ada pesan darinya, entah sibuk apa aku tidak tahu. Aku terlalu gengsi menanyakan kabar seorang cowok di masa pedekate.

"Arrh!!" Aku mumukul ubun-ubun, jangan sampai aku besar kepala kalau dia suka padaku. "Enggak, enggak, enggak." Aku bangkit, menekan-nekan pelipis dengan telunjuk, bangkit menuju kamar mandi. Hilanglah dari pikiranku, pergi, pergi.

Guyuran air di wajah kembali membuatku segar. Aku mengembuskan napas lewat mulut berkali-kali. Isi kepalaku bercampur aduk. Ingatan tentang sikap Tisa, anak-anak di kelas, dan Radit mengisi kepalaku. Perasaan kecewa, sedih, juga bahagia menyatu. Aku tak tahu bagaimana menatap hati kini. Aku memejam, merasakan sesuatu yang sakit menjalari hatiku.

Aku mendesah lagi. Terduduk di kamar mandi berukuran 1 x 1,5 meter ini. Kunyalakan keran air, membiarkan bunyinya meredam isakanku yang tersedu-sedu. Sudah enam minggu aku tak pulang ke rumah. Tak ada alasan kenapa aku harus menahan diri sebab tugas kuliah belum sebanyak itu. Tapi aku hanya ingin menenangkan hati dengan jauh dari rumah. Aku tak mau pulang, apalagi melihat kedinginan di dalamnya. Kamar kosku saja sudah cukup untukku merasa bahagia tanpa perlu merasa asing di rumah sendiri.

Setelah puas meratapi diri, aku bangkit, mematikan keran dan berjalan dengan celana yang sedikit basah. Beruntung setiap kamar pintunya terkunci rapat, jadi tak ada tatapan penasaran yang akan mengundang tanya dari kepala mereka.

Aku berniat akan berganti pakaian ketika ponsel di atas kasur berdering. Aku tertegun. Tak berniat mengangkat panggilan tersebut. Kulanjutkan niat yang sempat tertunda. Tapi ponsel kembali berdering, akhirnya setelah nada terakhir sebelum telepon berhenti dari lagi iKON Love Scenario berbunyi, aku angkat dengan enggan.

40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutkan di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang