[18] Semua yang Dia Tahu

11 3 0
                                    

"Kamu udah terlalu lama sendiri, Wulan. Meskipun kamu bilang butuh ruang, tapi sebenarnya kamu udah lama terjebak dalam sepi."

💌💌💌

Jam sudah menunjukkan pukul dua pagi. Aku diam saja, menarik selimut sampai setengah wajah berharap tak terusik dengan suara bising yang mulai menyentak telinga.

"Kamu minum lagi ya, hah?" Itu suara ibu, awalnya terdengar stabil mengontrol emosi. Lama-lama dia mulai menangis.

"Mau ke mana?!"

"Awas, Bu. Aku mau pergi! Aku mau ke sana, biar aku bunuh mereka! Bunuh!"

"Siapa yang mau kamu bunuh, Deni?! Masuk, cepat, masuk! Jangan bikin ibu susah begini!"

"Enggak! Biar aku ke sana, berani-beraninya dia ngeremehin aku."

"Masuk!"

Aku enggan untuk bangun, ingin tidurku cukup agar esok pagi tak sakit kepala. Tapi suara-suara di luar masih juga belum reda. Aku tahu bila mereka ada di samping rumah. Bang Deni pun terdengar hendak menyalakan mesin motor, tapi ditahan oleh ibu.

"Cepat, masuk! Masuk!" Suara ibu tak berdaya sebab dadanya pasti sudah sesak sebab menderita melihat kelakuan anaknya. Akhirnya karena malas mendengarkan aku keluar juga, pura-pura baru bangun dengan mata yang sedikit menyipit. Berharap hal ini segera berhenti.

"Ih.... Kenapa sih, berisik banget?" Kulihat ibu sedang mengelap ingus, baru saja masuk ke rumah.

"Dia, dia mau bunuh orang," sahut ibu dengan suara parau, tapi dia tak melihatku. Hanya memberikan telunjuk ke arah pintu yang sedikit terbuka. Kulirik abangku sedang berdiri di bawah tangga menghadap ke pintu sambil mengusap-usap wajahnya.

"Kenapa, sih? Tidur sana. Malam-malam berisik, orang lagi tidur juga." Aku kunci pintu dari dalam.

"Wulan! Sini HP Abang!"

"Jangan. Jangan kasih HP dia, daripada nelepon terus udah jam segini." Ibu menyangkal dari balik lemari pembatas ruang tengah dan ruang makan.

Aku tak menyahut. Memilih berbalik dan ingin kembali ke kamar.

"Wulan! Bawa sini HP gue! Gue hancurin ini pintu, hah!!"

Tanganku terkepal. Kuraih ponsel yang tadi ibu ambil dan ditaruh di atas meja ruang tamu. Kubuka pintu dengan kasar. "Ini! Ambil. Nggak usah balik!" ucapku penuh penekanan. Sebelum pintu tertutup, kulihat dia menelepon seseorang.

"Pergi kamu! Nggak usah balik lagi ke rumah. Nggak usah jadi anak saya lagi!" teriak ibu.

Seolah mati rasa, aku sama sekali tak merasa takut atau kasihan pada keadaan. Kulanjutkan langkah ke dalam kamar, tapi pintu utama malah digedor-gedor membuatku berdecak keras.

"Apa, sih? Sana! Katanya lo mau bunuh orang, 'kan? Nggak usah balik, sekalian bunuh diri." Aku menyemproti mukanya dengan nada tinggi. Tapi dia menyingkirkanku dengan sebelah tangan, dan masuk ke dalam sambil memanggil-manggil ibu.

"Ibu, maafin Deni." Jalan yang tak seimbang membuat tubuhnya sempoyongan. Beberapa kali berpegangan pada dinding. Aku mengikuti dari belakang tanpa suara.

"Bu...."

"Sana pergi! Ngapain lagi kamu ke sini?"

"Bu, Deni minta maaf. Deni cuma nggak mau kalau ada yang ngatain tentang keluarga kita. Deni bela ibu."

40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutkan di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang