[11] Apa Harapan Itu Ada?

13 2 0
                                    

"Gue senang lihat lo menderita. Dengan itu sakit hati gue terbalaskan. Lo itu nggak pantas bahagia."

💌💌💌

"Wulan, bikinin ayah Facebook, dong."

Mataku beralih dari televisi menatap ayah di sofa sedang mengotak-atik ponsel. Aku tak langsung menjawab, memilih untuk mendekati ayah dan meminta ponselnya. "Mau pakai nama apa, Yah?"

"Nama asli aja."

Lalu abangku datang membawakan nasi goreng yang dia beli dari kedai sarapan pagi, tapi dia tak ikut makan, kemudian pergi entah ke mana. Hanya aku yang memilih menyuap sendiri di meja ruang tamu. Kemudian aku kembali mengambil ponsel ayah di atas meja, dan memasukkan nomor ponsel untuk kode verifikasi. Sambil menunggu, aku menyuap nasi ke mulut dengan ponsel masih di tangan. Saat ponsel bergetar, aku bersiap akan menggeser layar notifikasi, namun seketika terpaku pada tulisan yang muncul di atas layar. Pesan dari nomor tanpa nama.

Tubuhku langsung terasa dingin. Tanganku bagai kehilangan daya untuk menggenggam ponsel yang kini terasa berat. Kudengar ayah mengoceh tentang bagaimana cara mencari pertemanan di Facebook, tapi aku diam saja. Otakku masih membeku membaca dua kalimat yang berhasil menyerang dadaku seperti anak panah.

081269xxxxxx: Ini lagi ngumpul keluarga. Sayang lagi apa?

Apa? Aku masih mencoba untuk tetap waras agar tak terpengaruh. Takut bila ekspresiku terbaca oleh ayah. Namun sepertinya ayah paham, dan segera meminta ponselnya. Aku mendongak, kalut melihat wajah tenang ayah yang menarik benda itu dari tanganku, tanpa berkata apa-apa aku langsung menundukkan pandangan. Menyuap nasi goreng yang hilang rasa seketika di lidah. Apa yang baru saja kubaca? Apa aku sedang bermimpi melihat sederet huruf itu?

Karena tak berselera, kuputuskan untuk membawa sisanya ke belakang. Lalu aku pergi ke warung terdekat untuk membeli kuaci. Membiarkan ayah pergi tanpa pamit. Sebab dia memang tak pernah pamit sebelum pergi. Ini sudah biasa terjadi selama beberapa tahun belakangan. Bahkan aku juga tak peduli soal pergi atau pulangnya. Aku berharap selalu ada halangan untuk ayah pulang, tetapi dia tak pernah absen untuk pulang sehari saja.

Aku masuk ke dalam rumah. Berdiri di dekat jendela, menatap ke arah jalan. Menimbang-nimbang tentang apa yang seharusnya aku katakan pada ibu.

"Bu, ayah nggak pernah bahas soal itu lagi, ya?" tanyaku dengan perasaan yang entah bagaimana menjelaskannya. Yang pasti, rasanya sangat berat dan aku benci memikul beban ini.

"Enggak sih, udah tenang aja. Kenapa?" tanya ibu. Wajahnya setiap hari tampak sayu. Menyimpan beban yang telah ayah sematkan di hatinya. Aku tahu ibu terluka mengetahui kenyataan, tetapi aku juga tak bisa memendam perasaan ini.

"Tadi aku baca pesan ayah, kayaknya dari dia. Tapi aku nggak ingat nomernya." Air muka ibu langsung berubah saat aku menyebutkan isi pesannya. Seketika wajah ibu pucat, tatapannya berkaca-kaca, lalu aku memilih keluar saja. Membawa dua bungkus kuaci yang tadi aku beli. Sebelum keluar aku sempat melihat ibu menelepon ayah berkali-kali, tapi saat ditelepon balik, ibu sama sekali tak mengangkat. Hanya termenung di sofa menatap pemandangan dari pintu di depannya. Bukan aku tak mau menemani resah hatinya, tapi aku juga masih syok dengan kenyataan baru ini. Aku putuskan untuk menghindar sejenak, memikirkan apakah aku telah salah memberitahunya.

Aku duduk di kursi kayu dekat jemuran di depan rumah. Membuang kulit kuaci ke tong sampah di depanku. Memakannya satu per satu untuk mengulur waktu.

"Kakak?"

Panggilan itu menarik perhatianku pada seorang anak kecil berusia lima tahun yang sering bermain ke rumahku. Adam si anak tetangga yang memiliki bola mata bulat, kulit sawo matang, dan rambut keriting. "Duduk sini, Kakak ada kuaci." Aku menepuk-nepuk kursi di sebelahku. Dia dengan girang langsung duduk dan menarik satu per satu kuaci dari bungkusnya. Lalu kami bercerita tentang kegiatannya di sekolah.

40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutkan di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang