[20] Challenge 40 Hari

9 2 0
                                    

"Menjadi Stoa dalam buku Filosofi Teras mengajarkan kita untuk menerima nasib dan berani memulai. Konsep hidup tenang adalah berdamai dengan kenyataan. Gimana cara berdamai dengan kenyataan? Yaitu dengan menerima."

💌💌💌

Entah sudah menit ke berapa, tak ada yang bicara di antara kami. Aku menggenggam minuman kaleng yang dibelikan Radit dalam diam. Kakiku yang menjuntai, kupandangi sebagai objek untuk pengusir rasa bosan. Kami saat ini berada di taman Bung Hatta yang bersebelahan dengan Jam Gadang. Dulu taman ini tak pernah dibuka, baru beberapa bulan setelah kebijakan di kota Bukittinggi mewajibkan bila tak ada satu pun area parkir di sekeliling Jam Gadang, tempat ini dirombak sedemikian rupa. Sering dijadikan objek untuk berfoto. Aku sendiri duduk membelakangi patung Bung Hatta yang berdiri gagah dengan posisi hormat. Sementara di depanku adalah pemandangan monumen pahlawan tak dikenal.

Tempat ini sudah sangat jauh berubah, banyak tempat duduk yang disediakan untuk bersantai. Ada air mancur yang ketika malam akan tampak berwarna warni karena lampu yang dipasang. Di bagian kanan taman ada jalan raya yang mengarah langsung ke belakang plaza Ramayana di depan Jam Gadang. Kalau dipikir-pikir, kota Bukittinggi itu kecil. Selaras dengan fakta yang aku temukan di internet. Kota kolonial yang diciptakan Belanda ini pernah menjadi ibu kota sementara Indonesia. Tapi sayang banyak yang tidak tahu tentang itu. Aku yakin mereka tidur-tiduran saat belajar IPS sewaktu masih SMP.

"Lagi mikirin apa, sih?"

Kugelengkan kepala sebagai jawaban. Tentu saja aku sedang memikirkan kapan dia akan bicara. Sedari tadi Radit hanya sibuk minum.

"Hari ini aku mau balik ke Padang."

Kurasa aku tidak tertarik dengan itu.

"Jadi mungkin bakal lama balik ke sini."

"Oh," gumamku. Lagi pula dia di sini atau di asalnya tak akan mengubah apa pun.

"Kamu udah makan?"

"Udah." Aku teguk lagi minum teh dengan cincau hitam di dalamnya. Rasanya bahkan tak seperti teh yang biasa kuminum di kost.

"Pastikan buat makan."

"Tanpa kamu bilang juga aku bakal makan. Kalau nggak makan ya bakal matilah ntar," sahutku sarkas. Sejujurnya aku bosan dengan pengingat itu. Dikatakan ataupun tidak, tetap saja aku akan makan demi kelangsungan hidup.

Radit tertawa. Aku menoleh dan melihat dia sedang merentangkan tangan ke belakang untuk menahan tubuh. Dia menatap sekeliling dengan senyum lebar.

"Aku harap ucapan kamu benar."

Lalu wajahnya menjadi tenang, dia menoleh padaku. Bunyi suara kendaraan bersahutan di sekitar kami.

"Kamu tetap harus makan, tanpa aku anterin. Walau dalam keadaan sulit sekalipun."

"Keadaan?" Aku menaikkan alis, tak mengerti dengan ucapannya yang ambigu.

"Kamu tahu nggak tentang kutukan Sisyphus?"

"Kutukan Sisyphus?" Aku kembali bertanya. Radit menatap ke depan, di mana orang-orang sedang berjalan di taman, ada yang berfoto, dan juga duduk-duduk.

"Raja Sisyphus dihukum untuk mendorong bongkahan batu ke puncak, baru sebentar dia bisa bernapas lega saat sampai di tujuan, batu itu jatuh lagi ke bawah, dan dia akan mendorong lagi sampai ke puncak. Begitu setiap harinya. Begitulah kehidupan kita yang juga disebut dengan kutukan Sisyphus. Setiap hari kita bangun pagi, bersiap untuk pergi bekerja, pulang dengan lelah di badan, istirahat, lalu esok pagi kita kayak gitu lagi."

40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutkan di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang