[16] Pembawa Acara

8 2 0
                                    

"Udah, Wulan. Jangan nangis lagi."

Tata datang ke kost saat jam menunjukkan pukul tiga sore. Ketika dia sampai aku hanya menyambutnya dengan senyum dipaksakan. Tanpa berkata-kata, Tata langsung memelukku erat. Saat itu juga aku tak dapat membendung air mata. Kubiarkan tubuhku bergetar, menyembunyikan wajah di bahunya yang lebar agar suara tangis dapat tersamarkan.

"Tata percaya 'kan sama Wulan?" Aku menelungkup, memeluk bantal, sambil sesekali menghapus air mata yang turun berulang-ulang.

"Iya, Tata percaya sama Wulan." Dia terus mengusap rambutku. Aku memutar tubuh, lalu duduk berhadapan dengannya.

"Gimana besok, Tata? Wulan rasanya nggak sanggup masuk kelas. Nggak ada yang bela Wulan sama sekali. Padahal sikap Tisa udah berlebihan."

Wajah bulat Tata nan cantik tersenyum penuh kehangatan, membuat hatiku tersentuh bila dia benar-benar tulus. "Wulan nggak perlu pembelaan dari siapa pun. Kalau Wulan benar, nanti juga bakal kelihatan kok, siapa yang salah dan benar. Tata cuma mau bilang, jangan dibalas. Kata-kata Wina ada benarnya, jangan sampai amarah bikin niat Wulan jadi berantakan."

Aku menghirup ingus. Meski sedikit kecewa karena Tata mendukung ucapan Wina, tapi hal itu ada benarnya.

"Besok, kita bareng ke kampus, ya. Tata bakal mampir dulu ke sini. Oke?"

Aku mengangguk. Kemudian tangan halus Tata mengusap air mata yang baru turun di pipi kananku. "Jangan khawatir, meskipun nggak ada yang berpihak sama Wulan, Tata bakal tetap jadi teman Wulan. Ada Tia, ada Ridho, ada Ari juga. Nggak perlu merasa sendiri. Nggak semua orang ninggalin Wulan, kok."

Meskipun kata-kata itu terdengar begitu indah, tapi aku sadar bila Tata tak selalu bisa ada untukku. Dia punya banyak kegiatan lain, termasuk bersama teman-temannya yang sudah dia lakukan sebelum dekat denganku. Namun kali ini aku akan mencoba memercayainya. Mungkin ini adalah jalan lain sebagai penguat yang Allah utus untuk di sisiku.

"Tapi, soal chat sama Tisa, beneran?"

Kutatap Tata, tak langsung menjawab pertanyaannya. "Sebenarnya itu chat-nya sebagai sengaja dihapus sama Tisa. Nggak tahu juga kenapa masih ada sama dia. Wulan aja udah nggak punya."

"Hm, mungkin aja dia emang belum hapus pesan-pesan kalian."

"Tapi Tata kan lihat kalau waktu pengiriman chat-nya ditutupin sama Tisa. Wulan nggak bisa nyangkal karena nggak punya bukti. Pertama emang dia nanyain mau pergi melayat atau enggak. Tapi malah disambung sama chat tentang Pak Gus."

"Iya, sih. Sementara ini emang nggak bisa dibantah. Lagian nggak ada yang merhatiin itu. Mereka fokus sama isi chat aja."

Aku mengembuskan napas berat dari dada yang terasa sesak akibat menangis. Kuambil bantal, kemudian menaruhnya di dinding untuk bersandar. Sementara Tata beringsut ke tengah kasur dan duduk bersila.

"Ya udah, nggak usah pikirin itu lagi. Besok tetap kuliah. Ingat kata-kata 'kuliah itu nomor satu', nggak? Siapa yang mengikrarkan itu di depan Tata dulu? Katanya nggak bakal ada yang bisa menghalangi Wulan kuliah kecuali sakit parah."

Aku tertawa melihat wajah Tata seperti menuntut penjelasan atas sumpahku dulu. "Ih, Tata jangan gitu. Lagian ini kan di luar dugaan. Nggak kepikiran bakal sampai begini jadinya."

"Wulan .... Kalau kita tahu apa yang akan terjadi di masa depan, lalu usaha kita untuk menghadapi cobaan apa? Di situ cara pengalaman membuat kita kuat."

"Tata kenapa jadi bijak gini, sih," decakku gemas sambil mencubit lengannya yang empuk.

Dia mengusap-usap bagian itu karena merasa geli. "Tata juga nggak tahu, sih. Ah, ternyata Tata hebat juga."

40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutkan di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang