[2] Stalking Mantan: Membunuh Perasaan

38 6 1
                                    

"Perhatian kecil bisa memberikan kesan manis. Seperti ucapan; selamat pagi."

💌💌💌

Aku mengerang, meregangkan seluruh otot-otot tubuhku kala suara azan memanggil lewat ponsel. Detik berikutnya, menyusul sahutan azan dari masjid dan mushalla yang ada di sekitar kampus. Hal yang harus aku biasakan meski beberapa kali masih sering melewatkan shalat subuh dengan bermimpi indah.

Dengan malas kusibak selimut, menyalakan lampu, berjalan ke cermin–tentu saja–untuk melihat rupaku. Dahiku mengerut, mata cina kemarin sudah mendingan. Aku mendekat ke kaca, melebarkan mata, memeriksa mataku yang tampak memerah karena kantuk. Oke, sudah cukup bercerminnya. Aku beranjak menuju kamar mandi di luar kamar yang harus melewati tiga kamar lainnya. Kamarku ada di urutan pertama dari pintu keluar. Sambil menggaruk-garuk rambut dan menguap panjang, kunikmati dingin ubin di telapak kaki.

Semua kulakukan dalam waktu sepuluh menit; berwudhu, shalat, dan berdoa pendek. Seperti manusia lainnya, aku langsung meraih ponsel, mengecek pesan-pesan masuk, atau sekadar melihat status kontakku.

Nama Raditia F menjadi urutan teratas chat pagi ini. Tentu saja, karena sepagi ini siapa juga yang mau mengirim pesan kepadaku.

[Selamat pagi ....]

Seketika senyumku mengembang. Aku menghambur ke kasur dengan posisi menelungkup, menahan tubuh dengan kedua siku di atas kasur, kemudian jari-jariku mulai mengetikkan balasan.

[Selamat pagi juga.]

Ha ha ha ... Lihat dia. Sepagi ini sudah mengirimiku pesan. Apa yang dipikirkannya? Menggodaku? Akan aku tendang dia kalau berani melakukan itu.

[Ternyata sudah bangun.]

[Iyalah.]


[Kirain masih tidur.]

[Jangan ngeledek, ya.]


[Ha ha ha .... Jangan galak, Kak Wulan.]

Aku meletakkan ponsel di lantai. Membosankan sekali. Aku menguap, merasakan kantuk kembali menyerang. Aku masih saja sulit tertidur cepat padahal patah hati itu sudah berjalan tingga minggu. Mungkin karena aku menggantungkan kebahagiaanku padanya. Hingga sekecil apa pun hal yang aku lakukan, yang aku lihat, mengingatkanku padanya. Padahal dia tidak melakukan apa-apa untukku selama tiga setengah bulan kami berhubungan. Dia juga tidak pandai merayu, tidak bisa menyelesaikan masalah trauma masa lalunya hingga aku dibawa-bawa kalau sedang ada masalah, dia juga tidak pandai menyelesaikan masalah-masalah kami, hingga diam begitu saja kalau konflik menyentuh hubungan kami.

Aku berdecak keras. Kutarik selimut merah kesayanganku sampai ke leher. Kenapa juga aku begitu mencintainya tanpa dia melakukan apa-apa begini? Apa aku gila? Apa cintaku semudah itu? Hanya karena dia tampan, pandai menyanyi, dan merajut kata-kata indah lewat puisi-puisinya, aku langsung terbuai dan menjatuhkan hati kepadanya. Dasar wanita! Mudah sekali kena rayuan laki-laki. Aku benci kenyataan ini. Semua orang benci itu; kalau dia sedang patah hati.

Aaarrrgg!!! Aku mengutukmu Aziz Si Brengsek! Semoga besok pacarnya memutuskannya seperti yang dia lakukan padaku.

💌💌💌

Seminggu kemudian, ternyata mereka malah posting foto bersama. Kenapa Allah tidak adil memberikan patah hati ini? Sebentar saja, izinkan dia merasakan apa yang aku rasakan. Aku benci melihatnya bahagia. Aku benci padanya. Tapi entah kenapa tanganku terus saja menyusuri semua postingan dia di Instagram yang sudah jelas-jelas akan menikam hatiku seperti besi panas. Aku terbakar. Tanpa sadar genggaman tanganku pada ponsel menguat.

40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutkan di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang