[5] Ujian Pertama

18 3 0
                                    

"Nggak apa-apa salah jurusan, Ukh, asal nggak salah jalan demi perhatian aja."

💌💌💌

"Kamu nggak bisa memaksakan dia untuk memahami perasaan kamu. Mungkin begitu yang dia rasakan waktu kamu memilih sering bareng yang lain. Kamu bisa welcome sama siapa pun yang temenan sama kamu, tapi dia enggak."

Aku termenung mengingat kata-kata teman penaku yang bernama Sri di Kalimantan. Semalam aku sempat curhat sampai tengah malam. Aku sudah tahu itu, tapi butuh beberapa kali untuk menyadarkanku kalau begitulah kenyataannya. Tisa memang tidak bisa menerima seseorang yang baru di antara kami.

Walau bagaimanapun, ini bukan keputusanku. Aku memang pernah berteman dengan Wina di semester pertama, tapi berujung aku menjauh karena tidak suka Rike datang dan menjadi orang ketiga di antara kami. Waktu itu Rike hanya memanfaatkan Wina, aku tidak suka. Dan sepertinya Wina juga senang berteman dengan Rike, membuatku cemburu. Di akhir semesterlah aku mulai dekat dengan Tisa. Sampai akhirnya aku menceritakan tentang kekecewaanku terhadap Wina di semester dua.

Aku mendesah berat. Ternyata Bu Wiwi tidak datang dan kami diberi tugas membuat resume per bab lagi. Aku melihat anak-anak kelasku sibuk mengerjakan tugas. Berdua, bertiga, dan berkelompok. Aku duduk sendiri. Wina tidak masuk, dan aku merasa sendirian di kelas ini. Tidak ada yang mengajakku mengobrol, karena sebelumnya aku tidak dekat dengan mereka. Aku merasa tersisih. Semua orang sibuk, kecuali aku yang melirik ke kanan dan ke kiri.

"Wulan, sini bikin resume bareng Tata."

Tata, gadis bertubuh gemuk, berwajah bulat, cantik, dan berkulit eksotis, yang sejak setahun belakangan sering main ke kostku.

Aku tersenyum kecil. "Tata punya foto copy bab dua?" tanyaku.

Tata mengangguk. "Ini punya Ridho, sih. Nggak apa-apa dipakai, dia bareng yang lain."

Melihat itu wajahku berubah cerah. Aku berpindah duduk ke depan kelas sebelah kanan di dekat pintu, duduk di depan Tata di samping barisan cowok-cowok.

"Tata udah sampai halaman empat puluh tiga. Wulan bikin aja duluan, ya. Tata tungguin, nih," kata Tata sambil memainkan pena di antara jemarinya.

Aku menaikkan sebelah alis. "Oke, makasih. Wulan pinjam dulu, ya."

Tata memang suka memanggil dirinya sendiri dengan namanya. Begitu juga dia sering memanggilku dengan namaku. Walau terdengar kekanak-kanakan, tapi aku senang Tata selalu bicara sopan dan manis. Tampak Tata tersenyum, lalu mengajak Ridho yang duduk di belakangnya berbicara. Sedangkan aku mulai menyalin catatan dengan cepat.

Suatu kebahagiaan aku bisa mengenal Tata. Kupikir dia orang yang sombong. Ya, Tata selalu tampil hedon seperti orang kaya lainnya. Tapi ternyata dia sangat friendly, terbuka, dan ceria. Walau sedikit blak-blakkan, tapi aku tidak masalah. Aku bahkan tidak tersinggung, karena aku tahu dia tidak bermaksud menyakiti hatiku.

"Wina ke mana, Lan?"

"Nggak masuk seminggu ke depan. Lagi sibuk bantuin abangnya ngurus rapor pesenan sekolah," jawabku, sambil terus menulis.

"Ih, lama juga Wina liburnya. Apa nggak apa-apa?"

"Ya, seminggu libur kan cuma sekali absen mata kuliah hehehe ...," kekehku.

"Bener juga. Kan satu mata kuliah cuma satu kali seminggu," imbuhnya dengan nada bersahabat.

Aku mendongak dan tersenyum pada Tata. "Udah, nih. Yuk, lanjut."

"Okay!" seru Tata sambil meregangkan tangannya, bersiap untuk menulis kembali.

Kulihat lampu notifikasi ponselku berkedip-kedip di atas meja. Ketika kubuka ternyata Raditia mengirimku pesan.

40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutkan di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang