[17] Pembullyan Di Keramaian

14 2 0
                                    

"Permisi, Kak. Tadi saya duduk di sini." Aku yang sedang memainkan ponsel sontak menoleh dan melihat seorang perempuan berparas ayu, berkacamata bulat, dan senyum yang manis sedang berdiri di depan kursi di samping kananku.

"Oh, maaf, Kak." Segera aku bergeser ke kursi sebelah.

"Maaf, Kak, itu kursi teman saya."

"Hah?"

Kulihat gadis itu menyengir, diikuti beberapa temannya yang melongok di balik bahunya. "Di tiket ada nomor kursinya kok, Kak."

"Tiket?" Apa? Aku tak sempat membaca kalau di sana ada nomor kursinya. Daripada berlama-lama kebingungan, aku memilih bergeser saja hingga akhirnya tergusur ke nomor dua paling ujung. Semoga saja tak ada lagi yang meng-klaim kalau kursi ini miliknya.

Radit masih menyapa para penonton sementara menunggu kursi kembali penuh. Salah satu trik penyelenggara seminar adalah memberikan sertifikat di akhir acara. Jadi mau tak mau yang sudah membeli tiket harus ada di sana sampai acara benar-benar ditutup oleh MC. Mataku hanya bisa terpana melihat Radit berjalan ke kanan, ke kiri. Entah apa yang dia sebut, aku tak fokus mendengar. Matanya melihat ke sana kemari, ke seluruh peserta seminar yang ketika aku melihat ke belakang jumlahnya mungkin lebih dari lima ratus orang. Ternyata Radit lebih luar biasa dari yang aku bayangkan. Aku saja yang dulu pernah jadi sekretaris Himpunan Mahasiswa sampai gemetaran berbicara di depan forum yang tak seberapa anggotanya.

Aku menatap ke depan, sialnya malah bertemu dengan mata ceria Radit. Cepat-cepat aku menunduk, tiba-tiba saja darahku berdesir cepat seperti tertangkap basah mencuri. Aku memilih untuk membuka kotak snack yang ternyata isinya adalah satu potong kue bolu, agar-agar dengan beragam warna berlapis-lapis, satu risoles, dan juga air mineral kemasan gelas. Lumayan, sebaiknya aku makan saja untuk mengusir kebosanan. Lagi pula aku belum makan siang. Ketika aku akan memasukkan ke mulut satu cubit kue bolu, tiba-tiba seseorang duduk di sebelahku.

"Hai." Aku kembali menurunkan tangan dengan cepat dan menoleh pada seseorang yang ternyata adalah Radit. Aku mengerjap sepersekian detik saking terkejutnya. Merasa sangat malu, mungkin Radit melihatku yang sedang menganga tadi.

"Oh, hai." Aku tersenyum salah tingkah sambil meletakkan kembali kue yang tak jadi kumakan tadi ke dalam kotak dan menutupnya perlahan.

"Aku pikir kamu nggak bakal datang," katanya sambil menaikkan alis.

Aku terkekeh pelan. "Kan udah dikasih tiket, nggak enak nggak datang."

"Tadi belajar apa?" Dia menatap ke depan, memperhatikan pemateri perempuan berwajah kebarat-baratan dengan rambut pirang yang ikal.

"Tadi belajar pajak." Aku membetulkan duduk senyaman mungkin, tapi sayangnya tanganku yang hanya memegang kotak dengan erat membuatku semakin salah tingkah.

"Oh.... Pajak, ya."

Aku tak menyahut, sebab kurasa ucapannya tak perlu dijawab. Kutelan ludah dengan susah payah. Ternyata aku benar-benar gugup berada di dekatnya. Apa mungkin karena sebelumnya aku menyukai Radit? Aku memang sempat berpikir untuk lebih dekat dengannya dari sebatas teman berbalas pesan. Tapi saat tahu dia tidak mendukung tradisi berpacaran, aku mulai menghapus keinginan-keinginan spontan yang menyita pikiran setiap kali melihat foto profilnya. Mungkin aku sudah harus memikirkan bila tak seharusnya aku berniat untuk memiliki seorang pacar lagi, karena itu memang jelas dilarang.

"Tadi sempat makan siang, nggak?"

Perkataannya membuyarkan lamunanku. "Hm? Belum. Nggak sempat, takut telat."

"Ya udah dimakan, dong. Emang mau dibawa pulang?" Dia menunjukkan dengan dagu kotak di atas tasku, tepatnya di atas pahaku.

Aku mengangguk dengan senyum kaku. Kembali dibuat malu karena kebodohanku. Akhirnya, mau tak mau aku makan saja meski masih diliputi perasaan canggung. "Kamu mau?" tawarku.

40 HARI TANPA KAMU [Dilanjutkan di Fizzo]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang