Kamipun langsung melanjutkan penyerbuan. Berhubung kami tidak tahu lokasi tiap ruangan, kami berpencar menjadi lima bagian. Angka yang pas, sesuai dengan jumlah persimpangan dari lorong utama.
Aku diputuskan untuk berdua dengan Catherine. Walau sebenarnya menurutku akan lebih baik jika kami masing-masing bersama salah satu anggota pasukan elit.
"Jamie, kamu yakin aku akan menemukan ibuku?" tanyanya tiba-tiba.
"Tentu saja. Aku sudah sering memberitahumu, kan? Sekarang cukup konsentrasi dengan latihan ini." Balasku.
Dia terdiam, tidak membalas. Biasanya dia kembali menceramahiku, atau setidaknya mengoceh sedikit. Ah, biarkan saja. Akan kupikirkan setelah latihan.
Lorong dipenuhi dengan pintu-pintu besi yang berhadapan dengan label-label mereka masing-masing. Dari pintu-pintu itu, ada satu yang mendapatkan perhatianku. Tertulis dengan jelas label pintu tersebut, "Singer's Room".
"Disana. Kita akan menemukan alat pengendali pikiran itu disana." Ujarku seraya menunjuk ke pintu di ujung lorong itu.
Sesuai dengan pesan terakhir dari Yuki, dia sempat mengatakan sesuatu tentang lagu. Menurutku, kalau aku tidak salah, alat itu adalah sang penyanyi dari perusahaan ini, Nera.
Seperti yang sudah pernah kukatakan dulu, dia bukanlah manusia. Melainkan sebuah manusia buatan atau bisa dibilang robot. Tapi, saking sempurnanya dia berwujud layaknya manusia biasa.
Kami pun berlari ke pintu tersebut. Lalu, tiba-tiba terdengar suara pintu-pintu terbuka di belakang kami.
"Jamie, awas!"
Peluru-peluru mulai menghujani kami. Catherine dengan sigap menembakkan tehnik sihir pelindungnya. Aku pun menembaki mereka, namun mereka berhasil menghindari seranganku dan bersembunyi di balik dinding-dinding ruangan-ruangan itu.
"Kamu urus yang kanan, aku urus yang kiri." Perintah Catherine.
Aku mengangguk. Aku pun melangkah keluar dari balik pelindung itu. Saat mereka muncul, aku langsung menembakkan tehnik sihirku bersamaan dengan menembak peluru biasaku.
Satu, dua orang berhasil kutumbangkan. Saat aku hendak menembak orang yang terakhir, aku terkena beberapa peluru dari kananku. Aku yang terkejut reflek menembak ke arahnya terlebih dahulu. Untungnya dengan pakaian ini aku tidak terluka sama sekali. Meski begitu, seperti yang kukatakan sebelumnya. Akan lebih baik jika tidak terkena sama sekali.
Untungnya orang ketiga tadi kembali berlindung saat aku menembak orang di sisi Catherine. Saat dia muncul kembali aku langsung menembaknya.
"Maaf soal tadi. Aku tidak sempat menghabiskan orang-orang tadi dengan satu kali reload." Ujar Catherine.
"Ya, tidak apa-apa. Kamu memang harus menghemat tenaga sihirmu."
Lihat? Dia bahkan meminta maaf padaku seperti itu. Kami pun melanjutkan perjalanan kami ke Singer's Room itu.
Hm, pintu ini berbeda dengan pintu-pintu lain di lorong ini. Pintu ini terkunci dan cara membukanya adalah dengan memasukkan kode rahasia. Tidak hanya itu, pintu ini juga dilengkapi pemindai sidik jari dan retina.
Meledakkan pintu ini tidak mungkin. Markas ini dikatakan kebal akan berbagai ledakkan. Bahkan sekelas rudal pun tidak bisa menghancurkan markas ini.
Ada satu trik yang bisa kucoba untuk membobol pintu ini, yaitu menggunakan kekuatan sihirku.
Aku pun menyentuh pintu ini. Cahaya biru perlahan membujur pintu ini dari atas dan bawah, dilanjut dengan sebuah lingkaran biru yang terbentuk di tengah pintu tersebut.
Berhasil! Pintu itu terbuka! Ah, aku merasa curang memiliki kemampuan sihir. Tapi ya, seperti kata Kak Reinhart. Musuh tidak mungkin bermain adil. Apa salahnya kalau kita juga bermain curang?
Dengan sigap aku memasang posisi berjaga-jaga, bersiap menghadapi berbagai serangan mendadak. Perlahan aku dan Catherine memasuki ruangan itu.
Ruangan bercahaya redup dengan berbagai alat-alat futuristik terpapar di seluruh ruangan ini. Aku pun mengabari anggota pasukan lain tentang ruangan ini dan sekaligus meminta back up untuk berjaga-jaga.
Sesuai dugaanku, sang penyanyi berada di ruangan ini. Dia ditahan di sebuah tabung kaca besar tepat di tengah-tengah ruangan ini. Tugas yang terakhir tinggal menghancurkannya, kan?
Sejujurnya aku sedikit tidak tega melakukannya. Aku pun bertanya pada diriku sendiri, "Apakah tidak ada cara lain untuk menghentikannya?"
Tepat setelah pertanyaan itu, suara sirine dengan kencang memenuhi ruangan ini dilengkapi dengan cahaya-cahaya merah.
Dinding yang awalnya kosong berubah menjadi berbagai senjata. Tabung kaca yang awalnya tidak terjaga sama sekali sekarang memiliki dinding-dinding laser di sekitarnya.
Senjata yang pertama menyambut kami adalah penembak rantai dengan borgol di ujungnya. Kami berhasil menghindari tangkapan rantai-rantai itu, dan tepat setelah itu senjata lainnya mulai menembak ke arah kami.
Catherine langsung menembakkan Barrier-nya. Aku mencoba membalas tepat ke arah senjata-senjata itu dengan peluru biasa. Tidak berpengaruh. Yah, sepertinya aku harus menggunakan sihir untuk menghancurkannya.
Ya, sekarang aku sudah bisa menembakkan peluru sihir, sama seperti Catherine. Tapi, tepat sebelum itu, Catherine menggunakan bom gelombang elektromagnetik. Senjata-senjata itu berhenti sejenak, namun entah bagaimana senjata-senjata itu kembali bekerja.
"Gunakan peluru sihir!" sahutku kepada Catherine.
Dia mengangguk dan langsung menjalankan perintahku. Aku ikut serta membantunya menghancurkan senjata-senjata tersebut.
Kami berhasil menghancurkannya. Aku menoleh ke arah Catherine. Nafasnya terengah-engah, dan dia terlihat sangat kelelahan. Dia sudah mencapai batasnya. Aku tidak bisa mengandalkannya menggunakan tehnik sihirnya lagi.
Kak Reinhart dan salah satu anggota pasukan elit menghampiri kami.
"Kalian berdua jaga pintu masuk, kami akan urus dari sini."
Aku dan Catherine kompak mengangguk dan langsung menuju pintu. Di pojok mataku, terlihat anggota pasukan itu mengotak-atik komputer berlayar banyak di sana. Kak Reinhart pun ikut serta membantunya.
"Misi berhasil! Simulasi berakhir ...." Ujar sistem ruangan.
"Ah ... syukurlah .... Aku sudah lelah sekali." Keluh Catherine seraya merobohkan dirinya ke atas lantai.
Aku mencoba menahannya, membantunya tetap berdiri.
"Eh, jangan roboh dulu. Kamu belum di atas kasur."
Kedua kakinya gemetar, berusaha untuk tetap berdiri.
"Anu ... maaf Jamie, kupinjam bahumu sebentar ... ya ...." Ujarnya lirih sembari merangkulku dengan lengannya.
DEG! De-dekat sekali! Aku belum terlalu terbiasa dengan dirinya yang sekarang. Dia menoleh ke arahku. Mata kami melekat satu sama lain dalam beberapa detik.
"J-Jangan berpikir macam-macam ...! A-Aku seperti ini hanya karena kecapean ...." Ujarnya sembari memalingkan pandangannya.
"B-Baik ...."
Entah mengapa, dia terlihat imut saat marah seperti itu. Tidak seperti saat awal-awal dia memarahiku. Ya ... sepertinya bisa dibilang aku lebih menyukai dia yang sekarang~~.
***
uwu ...
Au ah, males hehe. Sori klo kesannya maksain atau jelek ....
Hayo ... Catherine atw Yuki nih jadinya??? :3
NB: Sori lama gk updet. Sempet fokus ke The Dream belakangan ini. Seterusnya bakal ini ampe tamat kok, tenang aja :3
YOU ARE READING
Synchronization
Science FictionJamie Anderson, anak remaja berumur 16 tahun yang tinggal di sebuah kerajaan yang bertahan di masa depan. Kemajuan teknologi yang luar biasa membawa juga dampak negatif pada dunianya. Dia ditakdirkan menyelamatkan dunia dari ancaman sebuah perusaha...
Chapter 6 (Part 1)
Start from the beginning
