22| • Study Tour (2)

95 38 53
                                    

Aera

Setelah selesai makan malam, semua guru dan murid berkumpul untuk mendengarkan renungan yang dipimpin oleh Bu Silvia.
"Jadi kenangan special yang Bu Silvia bilang tadi sore itu tentang renungan? Aku kira jurit malem," kekeh Ela garing dan segera mendapat tatapan maut dari aku dan Jennie.

"Bego banget kamu mah dajjal. Ada pepatah yang bilang kalo ucapan itu doa," Jennie menoyor kepala Ela menggunakan jari telunjuknya.

"Iya kampret, santuy aja napa," sahut Ela dengan kasar.

Setelah keadaan sudah tenang dan hening, Bu Silvia memulai renungannya. Aku berniat untuk tidak begitu fokus mendengarkan renungan tersebut karena aku sudah bisa menebak bahwa tema renungan kali ini untuk mengingat tentang betapa besar kasih sayang orang tua kepada kita dan aku juga bisa menebak bahwa aku akan menangis karena teringat oleh papa jika aku mendengar renungan tersebut dengan seksama. Aku sama sekali tidak mau mataku membengkak karena menangis keesokan harinya.

Aku mencoba mengalihkan pendengaranku dari renungan tersebut dan menengadahkan kepalaku ke atas. Aku tertegun melihat langit gelap yang kini begitu indah karena adanya bulan yang memiliki bentuk bulat sempurna itu. Sangat menawan dan tidak bosan untuk dilihat terus-menerus. Aku kembali mengalihkan perhatianku lagi ke arah hamparan bintang yang begitu percaya diri memancarkan cahayanya. Apakah papa dan mama ada disana? Apakah papa dan mama bisa melihatku dari atas sana? Jika iya, sepertinya mereka akan marah karena aku akan menangis jika mengingat tentang mereka.

Karena aku terlalu fokus melihat ke langit, aku tidak sadar bahwa Bu Silvia sudah menyelesaikan renungan malam ini. Aku melihat ke sekelilingku. Ada yang menelungkupkan wajahnya karena menangis, ada yang menangis hingga berpelukan dengan temannya dan aku sudah tau siapa kedua orang itu. Sudah pasti Ela dan Jennie yang sedang berpelukan sambil menangis hingga tersedu-sedu. Mereka selalu lebay jika ada renungan seperti ini. "Manusia cengeng, balik ke tenda yuk!" ajakku dengan nada mengejek.

Ela memukul lengan kiriku. "Kamu aja yang enggak ada perasaan makanya bisa enggak nangis."

"Nih aku donorin hati," sahut Jennie sambil sesunggukan.

"Astapir, kaliannya aja yang baperan! Cepet balik ke tenda, aku mau bobok. Mata aku sisa 5 watt nih," protesku kepada Ela dan Jennie yang sedang males gerak.

Dengan kekuatan super dan dahsyat milikku, aku mampu menarik mereka berdua untuk berdiri. Padahal aku lagi lemes dan ngantuk berat karena kurang tidur. Emang mirip wonder woman yang ada di film Avengers kekuatan aku mah! Akhirnya kami bertiga masuk ke dalam tenda dan aku segera terlelap saat kepalaku menyentuh bantal.

✨✨

"Woi kebo yang suka tidur, bangun! Udah pagi nih," teriak Jennie dengan kencang tepat di telingaku. Aku segera membuka mataku dengan lebar karena terkejut mendengar teriakannya yang lebih mirip toa. "Kamu mau buat gendang telinga aku pecah ato gimana sih Jen!?" ujarku dengan ngegas karena ia mengganggu acara tidurku. Ela yang berada disebelahku juga merasa terusik dan akhirnya bangun.
"Masih pagi gini kenapa teriak-teriak sih?" tanya Ela dengan nada khas orang baru bangun tidur.

Aku menunjuk Jennie dengan jari telunjukku. "Gak tau nih anaknya Mr. Anderson tiba-tiba teriak dikupingku."
Ela menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan menempelkannya ke dahi Jennie. "Dia gak demam, Ra. Palingan penyakit autisnya lagi kambuh," ucap Ela tanpa dosa. Jennie menjewer telinga Ela dengan kuat dan membuat semua jiwanya segera terkumpul. "Udah jam 8 geblek, cepet bangun! Kalo enggak bangun, aku sentil ginjal kalian." Setelah mengucapkan kalimat tersebut, Jennie keluar dari tenda. Ela mengusap telinganya yang masih sangat merah. Seketika itu Ela dan aku saling menatap satu sama lain dengan pandangan ngeri. "PMS?" tanya kami bersamaan.

✨✨

ᴀᴇʀᴀ? [ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇᴅ]Where stories live. Discover now