Extra Part

191 22 85
                                    

Author POV


2 hari sebelum liburan ke Bandung.

"Lucas, sakit kepala yang berulang bukanlah hal yang baik," peringat seorang laki-laki yang memakai jas putih khas kedokteran dengan nada tajam karena ia tau bahwa Lucas baru saja dibawa ke rumah sakit dengan kondisi tidak sadarkan diri akibat sakit kepala yang menyerangnya.

"Aku mengerti, dokter Maik," ucap Lucas dengan singkat, padat dan jelas sambil berbaring pada salah satu kasur yang berada didalam ruangan tertutup itu.

"Bagus. Karena kamu sudah mengerti, saya harap kamu bisa bekerja sama dalam konsultasi ini. Sekarang saya tanya, apakah ada perubahan yang terjadi dalam hidupmu atau kamu menerima tekanan dalam hidup kamu akhir-akhir ini?" interogasi doktek Maik lagi.

"Semua normal," bohong Lucas. Padahal seluruh otak Lucas mengalami tekanan karena selalu memikirkan bagaimana reaksi Aera jika Aera tau tentang kondisi Lucas yang dapat merenggut nyawa Lucas dalam sekejap. Lucas benar-benar tak mau jika Aera harus terpuruk karena kondisi Lucas yang berada diujung tanduk.

"Karena kehilangan seseorang yang sangat kita cintai akan sangat menyakitkan," pikir Lucas.

"Jika semuanya baik-baik saja, kamu harus segera melakukan operasi. Rumah sakit di China sudah mengirimkan pemberitahuan operasi untukmu, bukan?" tanya dokter Maik sambil menatap Lucas yang sedang berbaring.

"Saya tidak tau tentang itu, dok," ucap Lucas sambil memalingkan wajahnya ke arah lain agar dapat memutuskan kontak matanya dari dokter Maik.

"Jangan berbohong, Lucas! Kenapa kamu tidak pergi untuk melakukan operasi saja?" tanya dokter Maik dengan menaikkan satu oktaf nada bicaranya. Sebenarnya dari tadi ia tau bahwa pasiennya ini selalu saja berkata bohong kepadanya.
"Sakit kepala yang berulang merupakan gejala yang sangat berbahaya, kamu harus terus memperhatikannya. Dan juga, sebelum melakukan operasi kamu tidak boleh berhubungan dengan apa pun yang dapat merusak suasana hatimu dan tekanan untuk otakmu, baik itu orang ataupun barang," final dokter Maik dengan penekanan pada setiap perkataan yang ia ucapkan.

"Aku mengerti," ucap Lucas lalu bangkit dari posisinya yang sebelumnya terbaring menjadi berdiri. Lucas melangkahkan kakinya menuju pintu ruangan, tapi perkataan dokter Maik membuat pergerakannya tiba-tiba terhenti.

"Lucas, jangan menganggap remeh kesehatanmu sendiri," nada bicara dokter Maik kembali naik satu oktaf dari biasanya. Pasiennya yang satu ini benar-benar sangat keras kepala.

"Maaf dokter, aku punya urusan penting yang harus segera aku urus," cuek Lucas.

"Urusan apa yang lebih penting dari pada kesehatanmu saat ini, Lucas!? Apa kamu tidak khawatir dengan tumor yang ada di otakmu dapat pecah kapan saja?" tanya dokter Maik dengan jengah. Ia benar-benar tak mengerti dengan pemikiran pasiennya yang satu ini.

Lucas membalikkan tubuhnya agar bisa berhadapan dengan dokter Maik lalu menatap dokter Maik dengan tatapan intens, ekspresi Lucas yang awalnya biasa saja berubah menjadi serius. "Komplikasi...apakah aku akan kehilangan semua ingatanku, dok?" tanya Lucas, terselip nada khawatir dari setiap ucapannya.

"Saat ini kita semua juga tidak ada yang tau apakah operasi dapat mengakibatkan komplikasi atau tidak. Tapi Lucas, kamu harus ingat. Hanya dengan bertahan hidup, kamu baru bisa memiliki ingatan," ucap dokter Maik dengan bijak.

Lucas terdiam setelah mendengar ucapan yang baru saja dokter Maik lontarkan. Lucas takut...benar-benar takut...apakah melakukan operasi adalah pilihan yang terbaik untuknya? Atau lebih baik, ia memilih untuk tidak melakukan operasi dan membiarkan tumor itu pecah dalam otaknya?

Lucas membalikkan badannya lalu keluar dari ruangan tersebut dengan perasaan yang gusar, takut dan bimbang. Jika kalian menjadi Lucas, apa yang akan kalian pilih?

Melakukan operasi yang dapat mengakibatkan komplikasi dan hilang ingatan?

Atau

Tidak melakukan operasi namun tumor yang ada didalam otak kalian dapat pecah kapan saja dan dimana saja?

Bimbang. Satu kata yang tersirat pada diri Lucas saat ini. Akhirnya, Lucas memutuskan untuk melangkahkan kakinya yang panjang itu keluar dari rumah sakit dan pulang ke rumahnya. Lucas berniat untuk tidak memberitahukan kondisinya kepada Aera karena takut jika Aera akan khawatir pada kondisinya.
Setidaknya, Lucas akan memanfaatkan waktu-waktu terakhirnya bersama Aera saat di Bandung nanti.

✨✨

1 hari sebelum keberangkatan Lucas ke China, Lucas memutuskan untuk menulis semua kenangannya bersama Aera dan teman-temannya didalam sebuah buku. Meskipun Aera sudah tiada, Lucas sama sekali tidak bisa melupakan sosok Aera yang periang dengan sejuta sakit yang Lucas berikan. Rasa bersalah selalu saja hinggap di hati Lucas jika sedang mengingat tentang kekasihnya itu.

Jujur, jika Lucas dapat meminta kepada Tuhan agar nyawanya ditukar dengan nyawa milik Aera, Lucas akan dengan senang hati menukarkannya.
Tapi sayang, Lucas menyadari bahwa hal tersebut tak mungkin bisa terjadi.

Lucas keluar dari kamarnya dan melangkahkan kakinya menuju kamar Juna yang jaraknya tak jauh dari kamar miliknya.
"Tok...tok...tok."

"Masuk aja, aku enggak kunci tu pintu," teriak Juna dari dalam kamar.

Lucas membuka pintu tersebut dan melihat Juna yang sedang terbaring diatas kasurnya sambil bermain game yang berada didalam telepon genggam miliknya.

"Kenapa!?" tanya Juna dengan nada tinggi karena Lucas tak kunjung membuka suaranya.

Lucas menyerahkan buku yang baru saja ia tulis kepada Juna.
"Jun, tolong jaga buku ini. Kalau misalnya aku lupa ingatan, tolong tunjukkin buku ini ke aku."

"Buat apaan sih? Ga guna juga!" sarkas Juna dengan nada kasar.

Lucas tak peduli, ia langsung menaruh buku tersebut diatas meja belajar Juna dan keluar dari kamar tersebut. Lucas tau, suatu saat Juna akan mengerti dengan kondisinya.

✨✨

ADA YANG NUNGGU-NUNGGU EXTRA PART GAK NIH?

HAPPY READING YA ♡(∩o∩)♡

OH IYA, AKU ADA NIATAN BUAT QNA NIH. KALO KALIAN ADA PERTANYAAN, KALIAN BISA COMMENT YA.

🎉 Kamu telah selesai membaca ᴀᴇʀᴀ? [ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇᴅ] 🎉
ᴀᴇʀᴀ? [ᴄᴏᴍᴘʟᴇᴛᴇᴅ]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang