Bab 16. Terpilih

17 4 14
                                    

Matematika menjadi santapan menu pagi ini untuk ku. Sungguh apa kalian bisa merasakan betapa menyebalkan nya pelajaran matematika di pagi hari untuk seseorang yang tidak menyukainya? Ini terjadi padaku.

Tidak ada yang ku mengerti selama ini, setiap mau ulangan harian atau bahkan ulangan semester aku selalu minta diajari Fiya. Biasanya belajar bareng di rumah ku atau Fiya.

Mau bagaimanapun keadaannya, sedang good mood atau malah bad mood juga tidak akan membuat ku memahami deretan rumus yang berisi angka-angka tersebut. Lebih baik disuruh translate novel bahasa inggris dibanding mengerjakan 10 soal matematika.

"Leza! Apa kamu mengerti?" Suara guru itu mengejutkanku. Beliau ternyata tengah memperhatikan ku.

Dengan suara gugup aku menjawab, "Sudah bu,"

"Kalau begitu sekarang kamu kerjakan nomor 2!"

Mampus!

Aku melirik pada Fiya yang sekarang sedang menatapku perihatin. Bagaimana ini? Aku bahkan tidak mengerti apapun.

Telapak tanganku sudah basah sekarang, aku meremas kedua sisi rok ku. Menatap papan tulis dengan tatapan ragu.

"Ayo Leza! kenapa kamu tidak maju?"

"Eh, eum. Iya bu."

Aku memaksakan langkahku, maju ke depan dengan harapan semoga semesta mau berpihak padaku. Semoga aku bisa menjawab soal didepanku dengan mudah walaupun tidak mengerti. Semoga beruntung!

"Assalamualaikum!"

Guru bahasa Indonesia masuk kedalam kelasku. Aku menghela napas lega. Terimakasih semesta! setidaknya aku bisa sedikit berpikir bagaimana cara menjawab soal nya dengan asal.

"Iya ada apa pak?"

"Saya mau panggil Kirana Belleza,"

Aku menoleh, ada apa? Apa aku baru saja melakukan kesalahan?

"Leza! sini kamu."

"Iya ada apa Bu?"

"Pak Agus mencarimu." Aku pun menoleh pada pak Agus.

"Ada apa pak?"

"Ikut saya ke ruang guru."

Pak Agus meminta izin pada guru dikelasku, mengajakku ke ruang guru entah dengan alasan apa. Tapi aku sangat bersyukur, setidaknya aku bisa selamat dari soal matematika meskipun tidak menjamin bagaimana nasibku setelah ini.

Di ruang guru, aku dipersilakan untuk duduk di kursi depan pak Agus. Menduga-duga apa yang akan terjadi setelah ini.

"Leza, kamu tau kan 1 minggu lagi kelas akhir akan wisuda?" Tanya pak Agus.

Aku mengangguk, "Saya tau pak,"

"Nanti akan ada pembacaan puisi tentang perpisahan."

Aku mengangguk lagi.

"Saya sebenarnya sudah memilih anak kelas lain untuk mewakilinya, namun kemarin ia mengundurkan diri karena katanya ada acara pas hari h nya."

"Iya pak, lalu bagaimana?"

Pak Agus berdeham, "Saya mau minta tolong supaya kamu bersedia menggantikan dia ya?"

Eh?

"Maksudnya saya yang akan tampil pak?" Pak Agus mengiyakan.

"Tapi kan saya cuma punya waktu satu minggu lagi pak?"

"Saya lihat kamu sudah punya skill nya, saya juga sudah menyiapkan puisinya. Jadi semoga kamu berkenan."

Menghapal dalam waktu seminggu sungguh tidak begitu berat. Namun yang jadi masalahnya adalah aku harus tampil di depan umum, di depan kakak kelas dan guru-guru nantinya. Aku belum pernah seperti itu, dan tidak ingin.

Namun tidak bisa juga menolak perintah guru, masa iya aku mengatakan tidak. Bisa-bisa nilai ku dalam mata pelajaran bahasa Indonesia akan jelek.

"Saya akan memberikan nilai tambahan bahasa Indonesia jika kamu bersedia, Leza."

Tawaran menarik, tapi tetap saja sulit untuk menyetujui nya.

"Tapi saya belum pernah tampil sebelumnya pak,"

"Saya akan mengajari kamu sampai kamu bisa,"

"Saya takut mengecewakan pak," jawabku jujur.

"Saya memilih kamu karena saya percaya kalo kamu bisa. Yang terpenting kamu sudah berusaha, perihal hasil itu belakangan."

Akhirnya aku mengiyakan tawaran pak Agus, menerima naskah puisi yang tidak terlalu panjang. Katanya aku diberikan waktu 10 menit untuk membacanya.

Hapalan tidak masalah, tapi gugupnya yang membuat resah. Baru memikirkannya saja sudah membuatku keringat dingin. Bagaimana nanti kalau sudah di hari h?

Aku kembali ke kelas disaat bel istirahat sudah berbunyi. Nanti sepulang sekolah aku akan ada pelatihan dengan pak Agus di aula.

"Le, tadi lo disuruh ngapain sama pak Agus?"

Aku sudah berada dikelas, belum ingin beranjak ke kantin. Dan Fiya pun masih mengerjakan soal matematika nomor 10. Padahal untuk PR, namun bagi Fiya dirumah adalah tempat untuk istirahat. Jadi ia jarang sekali membawa tugas pulang kerumah.

"Gue disuruh baca puisi pas wisuda kelas akhir," Jawabku lesu.

"Wah ya bagus dong!"

Helaan napasku terdengar, Fiya menatapku heran.

"Lo kenapa malah gak semangat gitu sih?"

"Gue kan belum pernah tampil di depan umum Fi, lo tau sendiri."

"Makanya ini waktu lo buat belajar, pokoknya lo harus bisa ya!"

"Bantuin gue ya?"

"Iya gue pasti nanti bantuin lo! Gue lanjut kerjain matematika dulu nih." Fiya kembali fokus pada tugasnya. Menulis setiap angka yang terasa sangat menyebalkan dimataku.

Andai saja aku menjadi menteri pendidikan, mungkin akan kuhapus matematika dari UN. Atau yang lebih mungkin ya aku akan menjadikan pelajaran matematika menjadi kelas terpisah hanya untuk orang yang ingin mempelajarinya.

Tapi itu tidak mungkin, karena matematika penting bagi orang lain. Walaupun bagiku, kalau sudah bisa pertambahan, pengurangan, pembagian, dan perkalian ya sudah cukup. Tidak harus ditambah aljabar, phytagoras, dan sebagainya.

"Nanti gue nyontek ya Fi?"

Aku menggoyangkan bahu Fiya yang sedang fokus. Fiya mendesis kesal.

"Lo kalo mau nyontek tau diri juga dong! Gak usah gangguin!"

"Iya iya Fiya, tapi nanti gue nyontek ya?" Aku melepaskan tanganku pada bahu Fiya.

"Iya, sekarang mending lo ke kantin beli makanan. Sekalian buat gue."

Aku mendengus, "Kok lo perhitungan!"

"Jadi, mau contekan apa engga?"

"Iya iya!"

Dasar!

Lekas pulih, Bumiku (COMPLETE)Where stories live. Discover now