7 - Dendam Anne

242 32 30
                                    

"Yang kalian lihat sekarang ini memang nyata ... inilah tulang raja kalian," ucap Ratu Cornellia dengan nada lirih. Seperti sedang berusaha menahan kesedihan yang teramat sangat.

Napas Anne tercekat. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh sang ratu. Raja bangsa mereka—Raja Hendrick—dibunuh secara tidak terhormat oleh tangan kotor manusia?

"Saya tidak tahu bagaimana raja para manusia itu bisa menemukan Hendrick ... bahkan membunuhnya." Ratu Cornellia menarik napas dalam, kembali berusaha agar tidak ada satu pun dari liquid asin itu mengalir di pipinya.

Anne menggenggam kursi erat-erat, mengadu giginya dengan penuh amarah. Sudah dia katakan, bukan? Manusia itu memang pantas disebut sebagai bangsa paling menjijikkan sepanjang sejarah. Mereka tak segan membunuh siapa pun demi mengambil keuntungan yang diinginkan. Bahkan sekarang tak terkecuali dengan nyawa sang raja yang menjadi korban keserakahan dari mereka.

Begitu Ratu Cornellia berhasil menetralkan perasaannya kembali, ia menatap tajam satu per satu dari kelima 'pahlawan cilik' yang ada di dalam ruangan.

"Saya ingatkan sekali lagi, misi ini memiliki risiko yang sangat besar, perbuatan yang dihinakan oleh para tetua, tetapi inilah satu-satunya jalan terbaik yang bisa kita ambil demi keadilan bagi bangsa peri," ucap Ratu Cornellia. Wanita itu meraih selembar kertas cokelat berisi foto raja para manusia—Raja Albirru—lalu menyobek kertas tersebut menjadi dua bagian, tepat membelah kepala dari tubuh di foto itu.

Suara bergetar milik Ratu Cornellia silih berganti dengan tenangnya ia mengatakan,

"Kalian harus membunuh Raja Albirru secara diam-diam sebelum dia merealisasikan rencana perang ini."

* * *

"Bagaimana cara kita bisa membunuh raja yang tak waras seperti itu?! Pengawalannya di kerajaan manusia juga pasti berlapis-lapis!" Nelda terus menggerutu di sepanjang perjalanan mereka menuju kamar masing-masing.

"Kekuatan kita tidak akan cukup," timpal Dhieren. Ia menautkan kedua alis sembari menundukkan kepala.

Dhieren, Avasa, dan Nelda terus mengeluh di depan Anne dan Ophelia yang berjalan berdampingan di belakang mereka. Sedangkan Anne sedari tadi hanya bisa menyimak. Berbagai gerutuan dari teman-temannya tidak cukup untuk membuat gadis itu tertarik bergabung dalam percakapan.

"Hei," panggil Ophelia dengan lirih secara tiba-tiba. Anne yang berjalan di sampingnya sontak menoleh, memasang raut wajah bertanya-tanya.

"Aku ingin tahu bagaimana pendapatmu tentang ramuan Dragulja Lipy tadi," ucapnya semakin lirih. Jika bukan karena telinga peri Anne yang begitu peka terhadap suara, sudah pasti perkataan Ophelia tidak dapat terdengar olehnya.

"Apanya?" tanya Anne sembari mengangkat sebelah alis.

Ophelia mempertemukan maniknya dengan milik Anne. "Saat kau terbungkus oleh selaput itu, ada apa di dalam sana?" tanya gadis berambut merah jambu itu penuh interogasi.

Perlahan rasa penasaran dalam pikiran Anne mulai membuncah. Entahlah, sekarang dia mendadak sangat tertarik dengan topik percakapan yang dibawa oleh Ophelia.

"Aku bingung harus menjawab apa. Karena ... aku tidak mengingat apa pun," terang Anne dengan jujur. Pertanyaan itu sudah cukup lama bersarang di pikirannya meskipun kejadian tersebut baru terjadi beberapa jam yang lalu. Dia benar-benar penasaran dengan apa yang dia lihat selama berada di dalam selaput, tetapi tidak bisa mengingatnya sama sekali.

Sembari berjalan, Ophelia terus menatap ke arah kakinya melangkah. Terlihat kecewa dengan apa yang baru saja dia dengar.

"Mungkin masih terlalu lemah. Aku akan memperbaiki bahan-bahannya nanti," ucapnya sebelum memisahkan diri dari rombongan Anne dan kawan-kawan.

KLASIK: Sayatan MisteriWhere stories live. Discover now