4 - Janji

449 90 72
                                    

"Aaahh, sedapnyaa!!" Dhieren meletakkan gelas kayu yang isinya sudah tandas ke atas meja.

Sekarang Anne, Nelda, Avasa, dan Dhieren sedang berada di salah satu kafe malam hari yang tak jauh dari kereta kerajaan Ratu Cornellia ditempatkan.

Sebenarnya, Ophelia juga sedang berada di kafe itu. Namun, dia memilih tempat yang lumayan berjarak dari Anne dan teman-temannya. Sedangkan Jazziel, dia sudah pulang lebih dulu ke rumah.

"Anne, serius. Apa kau tidak kesal dengan Ophelia?" Nelda tiba-tiba berbisik pada Anne yang tengah menenggak tehnya.

Kebetulan, Anne yang sedang menatap lawan bicaranya itu lalu segera membalas perkataan Nelda, "Biasa saja, sih. Lagi pula, bukannya dia sudah lama berada di kerajaan? Mungkin hanya belum terbiasa lagi dengan keadaan desa."

Mendengar jawaban dari gadis itu, Avasa pun menusukkan garpu pada steak-nya dengan keras.

"Burung yang terbiasa dalam sangkar akan merasa asing saat berada di tempat baru karena dia tak pernah punya kesempatan untuk menjelajahi daerah lain. Benar, 'kan?" ketusnya.

"Aku bisa mendengarmu dengan jelas. Tolong jaga mulutmu!!" bentak suara dari ujung kafe. Siapa lagi kalau bukan Ophelia.

Anne yang melihat tingkah keduanya hanya bisa menggelengkan kepala. Gadis itu lalu secara tiba-tiba bangkit dari tempat duduknya menuju ke kasir.

"Aku ingin membayar makanan kami dan ... makanan gadis itu juga," ujar Anne pada si penjaga kasir yang merangkap sebagai pemilik kafe kecil itu. Tak lupa dia menunjuk Ophelia saat menyebutkan 'gadis itu juga'.

Mendadak Ophelia bangun dari kursi, menyebabkan bunyi gesekan antara kayu dengan lantai papan yang beradu keras.

"Hah? Aku bisa membayar seluruh makanan di kafe ini. Tidak butuh uangmu," ujarnya dengan nada mengejek.

Anne menatap Ophelia lalu mengangkat bahu sambil tersenyum.

"Oke, tolong bayar, ya," pinta Anne. Ditepuknya bahu Ophelia. "Makanan kami mahal, lho."

Ophelia menyeringai. "Oh, murahan sekali. Sekarang kau yang memintaku membayar beban kalian. Ternyata peri desa bukan orang yang berada, ya." Dengan langkah angkuh, ia berjalan menuju kasir lalu mengeluarkan beberapa keping perak dan emas.

Anne terkejut, begitu juga dengan Nelda dan Dhieren saat mendengar jawaban dan seringai menjengkelkan itu dari wajah Ophelia.

Hanya Avasa yang menggertakkan gigi dengan marah lalu memukul meja. Membuat ketiga temannya yang lain kembali tersentak. Ophelia menoleh, seperti siap menerima kalimat dari Avasa.

"Kami memang peri desa biasa yang tidak sekaya dirimu, Tuan Putri-tidak-bermoral. Tapi porsi otak kami sama denganmu!!" celanya dengan marah.

"Ada lagi?" Ophelia membalas Avasa sembari merapikan rambutnya, tampak tidak gentar sedikit pun.

Saat Avasa terlihat semakin marah dan siap untuk mengeluarkan lebih banyak kata, Dhieren menepuk bahu kawannya lalu mengisyaratkan dengan lirikan mata agar mereka keluar dari kafe. "A-ayo kita cari angin, Sa."

"Benar. Pergilah kalian. Membuat hariku kacau saja!!" pekik Ophelia dengan nada yang terdengar jijik.

Avasa menatap anggota kerajaan bersurai merah jambu itu lekat-lekat sebelum berjalan menuju pintu kafe. Diikuti oleh Dhieren dan Nelda di belakangnya yang berusaha mengalihkan pikiran lelaki itu.

Kini, hanya tersisa Ophelia dan Anne. Bersama sang pemilik kafe, yang tiba-tiba saja melarikan diri ke balik pintu dapurnya.

"Kenapa masih di sini?" tanya Ophelia seraya mendengkus. Maniknya berusaha menatap milik Anne selama mungkin.

KLASIK: Sayatan MisteriWhere stories live. Discover now