20 - Perjalanan dan Jamur Avasa

63 13 15
                                    

"Ali asatendia."

"Dan ... dialah yang terakhir. Semua sudah siap?" Dhieren bertanya, menggenggam gulungan peta di tangannya erat-erat seraya merapikan pakaian.

Air sungai yang dingin, serta pembatas ajaib antara para lelaki dan perempuan yang tiba-tiba saja bisa diciptakan oleh Ophelia—berkat pengetahuan yang dia dapatkan dari jabatan Honesto Librarian-nya—membuat mandi pagi ini terasa mudah. Anne bahkan sekarang bisa merasakan kembali angin yang berembus menyapa setiap lapisan kulitnya dengan jelas.

Berkemas sudah, membersihkan area ini sudah, dan Nelda yang menjadi peri terakhir untuk menyembunyikan sayapnya pun sudah. Semua beres, yang berarti Dhieren sebentar lagi akan membentangkan peta pada tangannya dan menuntun mereka semua menyusuri hutan.

"Sudah." Anne menjawab tanpa nada antusias sama sekali. Ia memalingkan wajah ke arah Avasa, semata-mata agar terhindar dari tatapan Alan yang sedang berada di samping Vian dan Dhieren.

Honesto Butler tersebut memang langsung menawarkan diri begitu Dhieren bertanya siapa yang akan menjaga Alan selama perjalanan ini.

Anne cukup bersyukur sebenarnya karena tidak perlu repot-repot diteriaki oleh bocah itu untuk menjadi pendampingnya. Namun, di sisi lain sedikit menyesal karena seharusnya kalau dia menawarkan diri, Alan akan lebih mudah disingkirkan. Perkara alasan apa yang harus dia berikan pada rekan timnya tentu saja bukan masalah besar, karena Anne penuh dengan ide cerdik.

Dhieren menganggukkan kepala kemudian berbalik badan, mulai berjalan dengan Vian dan Alan. Di belakang mereka ada Avasa dan Nelda, lalu di baris terakhir ada Anne dan Ophelia yang saling bertukar pandang.

"Dia penghambat, 'kan?" bisik Anne. Tidak ingin jika suara dari pertanyaannya terdengar oleh selain Ophelia.

Alih-alih menjawab iya atau menyetujui Anne, Ophelia justru mengangkat bahu. "Ini masih awal. Aku tidak akan mungkin menganggapnya sebagai penghambat hanya karena dia meneriakkan namamu."

Ck, bahkan Ophelia sekalipun kali ini belum memihak padanya. Benar-benar beruntung sekali bocah lelaki itu.

Anne menguatkan genggaman pada busur, berdecak pelan sekali lagi sebelum beralih memperhatikan keadaan di sekeliling mereka. Pepohonannya sangat lebat, gelap, dan sunyi. Suasana yang baru bagi mereka semua karena sebelumnya tidak pernah memasuki hutan sedalam ini.

"Omong-omong, terima kasih, ya, Vian!" Suara riang milik Nelda tiba-tiba terdengar, membuat rekan timnya yang lain memperhatikannya kecuali Dhieren.

Alis Vian terangkat kaget. "Untuk apa?"

"Karena berkat tas kerajaanmu, aku tidak perlu menanggung beban yang berat di punggung ini!" tawa Nelda.

"Dia benar. Kami sangat tertolong." Avasa menyetujui kalimat dari Nelda.

Vian tersenyum saat Avasa menepuk bahunya, ditambah dengan melihat anggukkan dari Dhieren. "Sudah menjadi tugas utamaku sebagai Honesto Butler."

Melihat adegan yang berada di depannya, Anne—atau bahkan siapa pun—mau tidak mau akan tersenyum. Ikatan di antara para rekan timnya semakin erat, bisa menjadikan misi ini lebih mudah dari yang dia perkirakan.

Kecuali satu orang.

Anne melirik ke arah Alan. Anak lelaki itu tengah memperhatikan Dhieren, atau lebih tepatnya peta di tangan sang ketua. Reaksi yang begitu girang terpancar di wajahnya saat Dhieren sedikit menunduk, seolah membiarkan Alan mengintip sedikit ujung garis pada peta.

"Ann, 'ihat! Peta! Ann cuka peta!"

Mendadak, dia bersuara, melengking, mengagetkan mereka semua. Tatapan matanya yang begitu polos bertemu dengan milik Anne yang baginya cukup tajam.

KLASIK: Sayatan MisteriWhere stories live. Discover now