6 - Perasaan

307 39 51
                                    

Anne berjalan menyusuri koridor istana bersama dengan Nelda dan tentu saja didampingi seorang Honesto Butler yang membawakan barang mereka. Setelah mendengarkan sambutan dari Ratu Cornellia, akhirnya mereka berdua dipersilakan menuju kamar masing-masing.

Namun, gadis itu tak pernah menyangka jika kamar tidur di dalam istana akan ada sebanyak ini. Kurang lebih di sepanjang koridor terdapat 16 pintu dengan corak yang berbeda, belum lagi ditambah dengan koridor sisi lainnya.

"Silakan, Nona Anne." Sang Honesto Butler membukakan pintu bercorak bunga matahari, mempersilakan Anne untuk menempati kamar tersebut.

"Oh? Apa aku tidak bersama dengannya?" tanya Anne sambil menunjuk kepala Nelda.

"Hei, sopan juga kau, Anne. Aku lebih tua darimu," protesnya begitu melihat ke mana jari Anne mengarah.

"Kita masih di tahun lahir yang sama, Nel." Anne memutar bola matanya. "Jadi? Ini kamarku seorang, kan, uhm ...?"

"Vian. Anda bisa memanggil saya dengan nama Vian. Ya, itu benar, Nona. Kamar ini hanya untuk Anda sendiri," jelas Vian disertai senyuman ramahnya.

"Satu kamar untuk satu orang! Aku tidak pernah terpisah dengan Niana, jadi ini pengalaman yang bagus. Ah, aku harap bisa tinggal lebih dari dua minggu!" seru Nelda.

Anne mengangkat alisnya kemudian mengembuskan napas. "Akan kuberitahu pada Niana."

Berkat ucapan itulah, gadis tersebut dihadiahi jitakan pada kepalanya.

"Jangan berani kau!" Nelda memekik kesal. Anne hanya dapat tertawa melihat tanggapan Nelda yang begitu takut memikirkan reaksi kakak kembarnya.

"Baiklah, terima kasih, Vian," ucap Anne mengalihkan topik. Vian tersenyum mengangguk. Begitu mendapat balasan dari Vian, gadis itu lalu mengalihkan pandangannya pada Nelda. "Yang tenang."

Usai mengucapkan kata-kata yang membuat Nelda kebingungan, Anne segera menutup pintu di hadapan mereka.

Gadis itu mendongak, memperhatikan isi di dalam kamarnya. Banyak sekali ukiran menyerupai sulur daun yang menjalar di setiap sudut ruangan. Luar biasanya lagi, ukiran itu terbuat dari emas. Chandelier lamp yang terdapat di tengah kamarnya juga memiliki bentuk yang unik serta desain yang elegan, turut menghias isi kamar menjadi lebih mewah.

Tak lupa tempat tidur yang cukup luas untuk dirinya seorang, lemari bercat putih mengilap, serta nakas berbentuk persegi di sisinya.

Aku merasa bersalah sudah mengotori lantai ini, batin Anne.

Tak bisa dipungkiri, senyuman di wajah gadis itu tetap merekah sembari menyeret tas cokelat pada genggamannya. Sampai detik ini pun, dia tidak pernah menyangka akan menjadi bagian dari para peri terpilih sebagai seorang bangsawan sekaligus tangan kanan dari ratu.

Bahkan ibunya sendiri—Rachita—sangat jarang bercerita tentang dirinya selama menjadi Honesto Dizena. Ia selalu mengatakan tidak ada sesuatu yang spesial kecuali julukan honesto yang selalu melekat pada jabatannya di kerajaan.

"Sebenarnya berapa lama aku tertidur tadi, ya?" monolog Anne dengan lirih, "bisa-bisanya tidak mengantuk lagi."

Ia pun beralih menatap sekeliling kamarnya, mencari sesuatu yang dapat dikerjakan agar tidak jenuh.

Setelah menyapu pandangan pada setiap sudut kamar yang besarnya luar biasa itu, manik Anne akhirnya terpatri pada sebuah kanvas putih polos dan cat berbagai warna yang berjejer rapi di sampingnya. Gadis itu terdiam sebentar.

Melukis? Anne bukan tipe orang yang menyukai kegiatan itu. Jika dulu sekolahnya memberikan pilihan kelas seni atau berburu, Anne akan dengan senang hati menjadi peserta pertama di kelas berburu. Hal itu terjadi bukan karena dia membenci seni. Namun, dirinya lebih tertarik untuk terjun langsung ke alam bebas dibanding hanya duduk manis dan melukisnya.

KLASIK: Sayatan MisteriWhere stories live. Discover now