23 - Tak Termaafkan

73 12 0
                                    

"Jangan sakiti anakku!"

"Tidak apa, tidak apa, sayang. Kau sudah aman. Oh, putriku, Anne."

Aneh rasanya.

Anne merasa dia tidak pernah mendapatkan kehangatan selembut ini. Kehangatan yang terasa sangat suci hingga membuat dirinya tidak mampu berkutik.

Gadis itu sangat merindukan ibunya. Padahal, mereka baru terpisah dua minggu lebih, tapi rindu yang Anne tanggung ternyata sangat berat.

Seakan itu adalah rasa rindu pada seseorang yang sudah tidak ia temui belasan tahun lamanya.

"Estasio."

Suara seseorang yang menggumamkan sebuah mantra, ditemani dengan air mata Anne yang tiba-tiba dapat ia rasakan jelas mengalir di pipinya kemudian menyadarkan gadis itu.

Perlahan, Anne berusaha untuk membuka kedua kelopak matanya. Mengerjap-ngerjap, membiasakan penglihatannya di tempat gelap yang sedang dia tempati sekarang.

Ternyata pelupuk gadis itu sudah menyimpan banyak air mata, termasuk beberapa bekas aliran liquid asin tersebut di sekitar pelipisnya yang sudah lebih dulu mulai mengering. Napas Anne pun tersendat begitu ia mencoba menariknya.

Tidak salah lagi. Dia menangis dalam mimpi. Entah mimpi apa yang memutuskan untuk bersinggah di alam bawah sadarnya, yang jelas keberadaan kepingan khayalan itu berhasil membuatnya menangis tersedu-sedu.

Si pemanah kemudian meraba tempat empuk yang menanggung berat dirinya. Setelah yakin bahwa itu adalah tempat tidur, dia menoleh, melihat ke arah pintu cokelat yang sedikit terbuka.

Dia pun mendudukkan diri, hampir saja menginjak seseorang di bawah lantai jika dia tidak segera mengangkat kedua kakinya kembali.

Nelda? Anne membatin keheranan. Sang sahabat yang bisa dia kenali meskipun dalam keadaan minim penerangan sekalipun, membuat gadis itu berusaha menerka apa yang sudah terjadi sebelumnya.

Karena lihat saja. Sekarang Nelda sedang tertidur di dekat kaki ranjang, tidak beralaskan apa pun dan hanya berbekal bantal serta selimut yang mereka bawa.

Ditambah lagi, Anne bisa melihat jelas berbagai botol ramuan dengan bermacam ukuran yang terjejer rapi pada nakas di sampingnya. Pasti ulah Ophelia.

Perlahan, Anne menginjakkan kakinya yang sekarang sudah tidak beralas pada lantai kayu, jauh dari tempat Nelda sedang terlelap.

Dengan sangat hati-hati, gadis bersurai beige blonde itu melangkah menuju pintu kamar dan membukanya.

"Bagaimana keadaan—"

"Ah, Anne!"

Sang pemilik nama menoleh dengan terkejut begitu Dhieren berlari ke arahnya. Meninggalkan Ophelia yang berada di pintu depan rumah pohon, dan Madam Empress Amy yang juga sedang bersiap entah untuk apa dengan segenggam botol berisi cairan kuning di tangannya.

Manik kedua peri perempuan tersebut membelalak saat Dhieren tiba-tiba memeluk Anne dengan erat.

"Syukurlah," ucapnya.

Berbeda dengan sang sahabat yang penuh dengan nada bahagia bak mentari pagi, Anne justru terdiam membeku di tempatnya. Dia yakin sekali, sekarang wajahnya sudah semerah tomat, atau bahkan lebih.

Ophelia berdeham begitu melihat keduanya justru tidak kunjung memisahkan diri. "Tidak bisakah kau lepas pelukanmu itu? Harusnya kau mengingatkan dia untuk beristirahat lagi!" protes si Honesto Mixere.

Ketukan sepatu milik Ophelia seakan menjadi hitungan peringatan bagi Dhieren untuk segera melepaskan Anne. Tanpa bantahan, Dhieren segera menurut.

Sekali lagi dia menatap ke arah Anne yang sedang berdiri bingung di hadapannya. Rambut milik gadis itu terurai lembut, sudah sedikit bergelombang karena Anne terlalu sering mengepang atau menggulungnya.

KLASIK: Sayatan MisteriWhere stories live. Discover now