15 - Semakin Dekat

74 14 0
                                    

Setelah sekian hari sudah menetap di istana, akhirnya Anne, Nelda, dan Dhieren terbiasa untuk bangun pagi buta akibat gedoran pintu yang selalu menggila dari Avasa.

Hari ini pun, mereka semua tengah menunggu matahari terbit sembari mengobrol di atas batu besar di halaman belakang istana.

"Besok, ya ...," ucap Dhieren secara tiba-tiba.

Avasa yang mendengarnya kemudian mengangguk. "Padahal sudah nyaman berada di sini."

"Aku setuju dengan Avasa ... dan lagi ... aku juga mulai takut dengan misi yang harus kita jalani," lirih Nelda. Gadis itu memeluk kedua lututnya, menenggelamkan wajah.

Anne yang mendengar lirihan tersebut kemudian mengepalkan tangan. Mau bagaimanapun, dia masih sangat membenci manusia.

Misi mereka adalah membunuh raja bangsa menjijikkan itu secara diam-diam dan Anne akan melakukannya. Harus melakukannya.

Dia tak ingin melihat para peri tersiksa lagi di masa depan, terbunuh lagi seperti raja bangsa mereka. Anne merasa harus mencegah semua hal itu sebelum sejarah terulang kembali.

"Kita pasti bisa. Membunuh manusia yang tidak dapat merapalkan mantra sepertinya itu sangatlah mudah," celetuk gadis bersurai beige blonde tersebut dengan nada ketus.

Nelda mengangkat kepalanya lalu menatap Anne dengan ragu. "Kau tahu apa kata Ratu Cornellia, 'kan, Anne? 'Perbuatan yang dihinakan oleh para tetua'. Itu berarti kita—"

"Aku tidak peduli soal itu! Bukannya kalian juga sudah membaca surat tersebut jelas-jelas? Bukannya kalian sudah melihat tulang dari raja kalian sendiri?? Surat itu mengajak kita berperang antar bangsa! Berapa banyak lagi penderitaan yang harus kita jalani?!" bentak Anne dengan nada suara yang semakin lama semakin meninggi.

"Aku tidak akan mengampuni mereka yang sudah membunuh Raja Hendrick! Aku juga tidak sudi melihat banyak dari bangsa peri yang tidak tahu menahu tentang apa-apa harus gugur bersimbah darah di hadapanku! Kalian juga sama, 'kan?!" lanjutnya.

"Anne, kecilkan suaramu! Iya, kau benar, tapi kau juga ingat tidak boleh ada yang tahu tentang misi ini, 'kan?? Tenanglah dulu," bisik Dhieren agar gadis itu sedikit melemaskan bahu dan menghilangkan amarahnya.

Menyadari bahwa dirinya hampir terlewat batas, Anne kemudian mulai kembali menetralkan napas.

"Maaf. Aku hanya merasa bersalah. Selama dua minggu berada di istana ini, kita sudah tahu tentang misi besar apa yang terbentang di depan sana. Tapi, kita malah tertawa, menikmati hidup menjadi bagian dari para bangsawan," lirihnya beberapa menit setelah ia lebih tenang.

Avasa yang sedari tadi sibuk mengatur angin di sekitar mereka agar berembus sejuk, kini menghentikan kegiatannya. Lelaki itu menatap manik Anne lekat-lekat, membuat yang ditatap pun mengalihkan bola mata ke arah lain, enggan bertumpu pada netra keemasan tersebut.

Helaan napas berat terdengar dari mulut Avasa. "Aku tidak percaya mengatakan ini, tapi kau bodoh, Anne," ujarnya datar, "kita berlatih di istana ini berjam-jam sesuai gelar masing-masing, ingin melakukan yang terbaik setiap harinya. Menikmati menjadi bangsawan sementara di sini bahkan tidak sampai dua puluh persen."

Kepala Anne tertunduk dalam setelah mendengar Avasa berkata demikian. Ya, lelaki itu benar. Anne selama ini tidak pernah melihat usaha mereka dalam menjalani pelatihan khusus yang sebenarnya memakan waktu lebih dari setengah hari.

Gadis itu terlalu fokus melihat waktu bersantai mereka yang dipenuhi tawa. Menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak penting dan sia-sia. Padahal, ia tahu, mereka juga butuh hiburan agar tidak menganggap berat misi ini, agar mereka tetap kuat secara mental.

KLASIK: Sayatan MisteriМесто, где живут истории. Откройте их для себя