(G)sembilan

254 45 19
                                    

I'm craving for the good touch to recover. Keep holding on. I'm sure it's gone.

Mereka kehabisan topik, ya saat ini mereka sedang dalam perjalanan pulang ke rumah Junia.

"June..."

"Hm?"

"Gue mau tanya."

"Tanya aja, kenapa?"

"Tempat yang bakal lo datangin saat lo down dimana?"

"Hm, makam mama sama papa Gar..."

"Maaf ya June, gue nggak tau kalau..." Gara menggenggam tangan Junia.

"Nggak apa-apa kok, gue udah ikhlas. Kalau lo dimana?" Junia memberikan senyuman terbaiknya, memberi tau bahwa ia tidak apa-apa.

"Lo."

"Maksudnya?" Junia agak ngeh, cuma sekedar mastiin doang nggak apa-apa kan?:)

"Gue pasti bakal balik ke rumah gue, apa pun kondisi gue dan rumah gue itu lo."

"Hahaha jangan ngelawak deh Gar, nggak lucu." Ya Allah, jantung gue rasanya udah nggak gantungan lagi di tempatnya. Batin Junia.

"Lo pikir ini ga serius?"

"Hm, ya... Mana mungkin sih Gar? Hahaha."

"Kalau nggak mungkin, nggak mungkin juga kan lo jadi pacar gue sekarang?" Gara tersenyum sekilas ke arah Junia.

"Tapi kan gue belum iyain."

"Gue kan nggak ngasih lo hak buat nolak?"

"Ya tapi kan kalau pun nggak lo kasih, tetep aja harus minta persetujuan dulu dari gue."

"Hm yaudah, gimana? Lo mau nggak jadi pacar gue?"

"Hah?"

"Mau nggak jadi pacar gue? Kalau mau nanti gue kasih susu kotak deh..."

"Susu kotak? Mau mau. Rasa peach ya Gar!" Junia memang lemah kalau masalah susu kotak, apalagi rasa peach:v

"Peach?"

"Iya, cuma ada satu penjual yang jual susu rasa itu di kota ini."

"Yaudah, gue beliin lo tiap hari kalau mau jadi pacar gue."

"Oke. Ga masalah, asalkan susu kotak everyday!" Junia bertepuk tangan kegirangan. Dia bahagia sekali, sudah lama dia tidak merasakan hal ini.

Ya, semenjak mama dan papanya meninggal. Semua kebutuhannya benar-benar harus diseleksi yang mana harus dibeli, terkadang untuk cemilan ia sendiri tak ia beli karena harus super berhemat.

"Hm, lo nggak suka susu emang?"

"Suka."

"Rasa apa Gar?"

"Rasa sayang yang lo kasih ke gue aja udah cukup kok." Gara tersenyum sekilas pada Junia.

"Ish Gara bisa aja, serius nih suka rasa apa?"

"Stroberi."

"Hooo, Junia nggak suka stroberi."

"Kenapa?"

"Karena stroberi asem, kayak hidup. Jadi, kalau hidup udah asem udah seharusnya kan yang nyata dimanisin aja. Nggak usah ditambah asem lagi..."

"Ha? Nggak mudeng gue June, bisa ulang?"

"Nggak."

"Yaah, maaf deh gue nggak denger."

"Biarin." Junia berpura-pura ngambek, membuat Gara tertawa sambil mengacak rambut Junia.

Mungkin memang benar, sudah seharusnya ia menerima Gara kan? Menerima bahwa ia memang orang yang spesial bagi Gara? Mungkin memang harus, batin Junia sambil tersenyum membalas senyuman Gara.

-Glory-

Junia terkejut saat membalikkan tubuhnya, Gara baru saja pergi. Tangannya bergetar hebat, seharusnya tadi ia pergi bekerja lalu memohon-mohon dipinjamkan uang kepada bosnya. Tapi karena tak tega menolak Gara, ia lebih memilih bolos kerja.

"Baru pulang? Kemana aja? Anak gadis kok pulang malam? Mana masih pakai baju sekolah lagi, abis dari mana kamu?" Tanya ibu pemilik kontrakannya.

"J-Junia pergi kerja kelompok buk, ayok masuk dulu buk?" Junia baru saja ingin merogoh tasnya untuk mengambil kunci.

"Nggak perlu. Langsung saja, mana uang kontrakan?"

"Mm-"

"Jangan menunda lagi Junia! Saya sudah baik ya memberikanmu waktu, bahkan kamu masih saya perbolehkan tinggal walaupun menunggak 3 bulan."

"Ta-Tapi Junia belum dikasih gaji sama bos buk, beri Junia waktu lagi buk..."

"Minta waktu lagi? Benar-benar tidak sadar diri ya kamu! Sudah dikasih hati minta jantung!? Segera kemasi barang kamu, pergi sekarang juga dari kontrakan saya! Membeli buku nopel saja bisa kamu, bayar kontrakan saya masa tidak bisa? Kamu punya waktu selama sejam."

Junia terduduk lesu di depan rumah, ia bahkan menangis terisak. Matanya menatap nanar plastik berisikan banyak novel digenggamannya, sekarang apa yang harus ia lakukan?

Kemana ia akan tinggal? Kenapa semuanya berlalu begitu cepat? Baru saja tadi ia bahagia karena Gara, sekarang sedih melandanya dengan luluh lantak. Junia benar-benar hancur. Tak ada pilihan, selain mengemasi barang-barangnya dengan cepat.

Setelah menatap sekilas rumah kontrakan itu, Junia berjalan menuju rumah sahabatnya. Semoga Regina mau menampungnya untuk sementara waktu?

Tok tok tok...

"SEBENTAR!" Terdengar teriakan dari dalam rumah yang pintunya Junia ketuk.

"Eh June? Lo...?" Regina yang menyadari mata Junia memerah, lantas memeluk sahabatnya itu. Ia tau.

"G-gue d-diusir Re..." Tangis Junia di pelukan Regina.

"Iya, lo bisa tinggal sama gue oke? Ayo masuk, kita istirahat ini udah malam banget!" Regina membantu Junia berjalan dengan membawakan tas-tas besar Junia.

"Ibu sama bapak mana Re?" Tanya Junia sambil duduk di ranjang Regina.

"Oh? Ibu sama bapak lagi keluar kota, biasa ada proyek katanya. Langsung tidur?"

"Hm besok juga sekolah."

"Mari tidur! Selamat malam Junia."

"Malam Regina."

Dua sahabat itu tertidur dengan tangan saling menggenggam, berharap seperti itulah hubugan mereka hingga selamanya.

-Glory-

"Gue denger... Lo gaet Gara ya June? Hebat banget lo, jadi iri sama lo yang bisa dapatin idola gue selama ini." Sahut Regina pagi ini saat mereka berjalan ke halte.

"Hm, udah kesebar banget ya?"

"Iyalah, udah sampe SMA sebelah tau! Cie sahabat gue nggak alone lagi nih, udah taken ama pangeran sekolah!" Regina menyenggol lengan Junia, menggoda sahabatnya itu yang pipinya mulai memerah.

"Ih Regina jangan gitu, Junia malu. Abisan Gara nggak mau diajak backstreet, jadinya kesebar gini deh."

"What? Apa? Lo ngajak pangeran sekolah backstreet? Ya Allah June, lo bego banget sih. Punya pacar ganteng tuh dipamerin atuh, jangan disembunyiin. Rugi banget lo, apalagi cowoknya kayak Gara."

"Ya tapi kan gue bukan lo, jadi gue nggak suka pamerin dia ke orang-orang." Jawab Junia sambil menggandeng tangan Regina untuk naik ke bus.

"Ugh, posesif huh?"

"Ih Regina!!!" Mereka tertawa, hingga tak sadar sebuah mobil sport mewah mengikuti bus tersebut dari tadi.

-Glory-

Galore (Complete)On viuen les histories. Descobreix ara