Kejutan

114K 8.3K 262
                                    

[Tiga puluh enam]

Mentari dengan wajah murung, keluar dari kelas terakhirnya, menenteng tas punggung dan tas bekalnya yang sudah kosong dengan lesu. Ia mencoba menghindar saat melihat Laras dan kedua temannya berdiri berbincang di ujung lorong.

Saat akan berbalik pergi mencari jalan lain, panggilan Laras lebih dulu menghentikannya, ia berbalik dengan senyum simpul. Berjalan mendekati ketiga perempuan itu.

"Kenapa, Ras?"

"Pulang bareng gue, yuk."

Eh, ada apa, nih?

Mentari tidak bisa tidak menaruh curiga saat melihat Laras berdiri di depannya dengan senyuman manis. Kenapa dia bisa berubah secepat itu?

"Gak usah deh, Ras. Aku pake angkot aja," tolak Mentari sopan. Ia tak ingin menimbulkan masalah lainnya dengan bersama Laras yang jelas-jelas membencinya.

Laras terlihat berbincang singkat bersama kedua temannya sebelum melambaikan tangan. "Kita belanjanya besok aja, ya?"

"Oke, deh. Bye, Laras!" seru kedua temannya serempak, berlalu setelah melirik Mentari dengan sinis.

"Temanmu ... kayaknya benci banget sama aku," ujar Mentari tidak mengerti. Pasalnya, ia sama sekali tidak pernah merasa menimbulkan masalah saat berada di kampus.

"Kayaknya sih, iya. Padahal gue gak pernah ngajak-ngajak mereka buat benci lo juga, loh." Laras meyakinkan Mentari dengan wajah tanpa bersalah. Seolah-olah perkataannya akan membuat Mentari merasa lebih baik.

Mentari meringis pelan. "O-ooh."

Jadi, secara tidak langsung, itu adalah pernyataan resmi dari Senja Larasati Wijaya bahwa dia benar-benar membenci seorang Mentari, begitu?

"Tapi, walaupun lo udah rebut kak Baskara dari gue, kita tetep temenan kok. Santai aja."

Sepertinya begitu. Hubungan Laras dan Mentari sudah tidak bisa diselamatkan lagi.

"Ayo, gak usah bengong gitu dong." Laras tertawa kecil, menarik tangan Mentari ke tempat mobilnya yang terparkir.

"Makasih," ucap Mentari pada saat bodyguard Laras membukakannya pintu, sedangkan Laras langsung masuk begitu saja dan duduk di samping Mentari.

Mentari diam sepanjang jalan pulang, sedangkan Laras asik berselfie ria dengan berbagai gaya. Mentari tidak peduli, yang paling ia inginkan sekarang adalah, cepat sampai di rumah mungilnya.

"Tari, kak Baskara kerja apa, ya? Semenjak nikah sama lo, kayaknya dia susah mulu, deh, perasaan." Laras bertanya, duduk menyamping agar dapat melihat wajah Mentari yang berubah kecut.

"Dia kerja di toko elektronik temennya," jawab Mentari seperlunya.

Laras tidak perlu tahu kehidupan rumah tangganya lebih jauh. Mereka susah atau senangpun bukan urusan orang lain. Nyatanya mereka baik-baik saja selama ini, tidak kekurangan apapun selama hidup sederhana dan mandiri. Mentari dan Baskara nyaman dengan kehidupan mereka berdua. Setidaknya begitu yang Mentari rasakan, semoga saja Baskara juga merasakan hal yang sama.

Laras mengangkat sebelah alisnya, memutar mata jengah. "Kalau kak Baskara mau, dia bisa kerja di perusahan bokap gue. Kasih tau kak Baskara, ya. Kalau dia setuju, suruh hubungin ke nomer gue aja. Gue yakin dia masih simpen."

Gak usah geer! Nomermu udah aku hapus kali! batin Mentari kesal, meremas jemarinya kencang.

"Pak, gak usah masuk. Gangnya kecil!" Laras memberitahukan sopirnya untuk berhenti dipinggir jalan, tepat di depan gang untuk masuk ke perumahan tempat Mentari tinggal.

Unpredictable Journey [Tamat]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora