Cinderella KW seribu

153K 11.1K 483
                                    

[Tiga]

Mentari melirik jam dinding yang terpasang tepat di atas tv delapan puluh dua inchi yang sedang menayangkan pertarungan tinju, dengan ekspresi resah. Dia tidak memikirkan bagaimana bisa tv besar dengan harga lebih dari seratus lima puluh juta itu, bisa berada di sana, tapi masalahnya adalah sekarang sudah pukul delapan lebih dua puluh tujuh menit.

Tinggal tiga puluh tiga menit lagi sebelum mata kuliah pertamanya dimulai, Mentari tidak ingin terlambat.

"Tuan, udah belum? Mata kuliahku sebentar lagi dimulai." ucap Mentari, tangannya masih memijat benda berbulu yang ada di bawah Baskara.

Cepetan Tuan, atau bulu-bulu ini akan terlepas dari kulit Tuan, kalau terus saja menahanku seperi ini.

"Sebentar lagi." kata Baskara singkat.

Sebentar lagi matamu bulat! Tuan sudah bilang begitu sejak jam tujuh tadi!

Baskara menarik satu kakinya, kemudian menggantinya dengan kakinya yang lain. Mentari dengan wajah nelangsa, memijat sedikit keras betis Baskara yang ada dipangkuannya.

Lelaki dengan kaos oblong dan boxer pendek itu tidak mengalihkan pandangannya sedikitpun dari tv. Tidak peduli pada Mentari yang kini sudah seperti cacing tanah, karena terus bergerak gelisah.

Mentari menatap Baskara yang duduk di atas sofa dengan mata menyipit. Kini jam sudah menunjukkan pukul delapan lebih tiga puluh sembilan menit, jika Baskara tidak segera berhenti membabukan Mentari dalam waktu sepuluh detik dari sekarang, Mentari berjanji akan mencabut paksa bulu kaki Baskara.

Tujuh, delapan ...

Mentari mengumpulkan bulu kaki Baskara dengan dua jarinya, matanya semakin menyipit menatap Baskara yang masih fokus menonton tv.

Sembilan, sepulu---

"Biar saya saja yang menggantikan tugas Mentari, Tuan." kata bibi Nolan tiba-tiba.

Mentari dengan wajah senang, segera mendorong kaki Baskara sedikit keras, membuat Baskara memberikan pelototan garangnya. Mentari hanya menampilkan cengirannya lalu berdiri di samping bibinya dengan kepala menunduk.

"Gak perlu, gue sudah selesai." ucap Baskara sambil lalu ke kamarnya. Tanpa memberikan ucapan terima kasih kepada Mentari yang sudah rela duduk lesehan memijat kakinya hampir dua jam lamanya.

Babu seperti dia memangnya siapa? Hanya butiran debu yang langsung hilang ketika tertiup ego para orang-orang kaya.

Mentari memajukan bibirnya kesal melihat Baskara yang sudah menghilang dari pandangannya. "Kamu tuh jangan lancang begitu sama Tuan Muda, keluarganya sudah memberikan banyak untuk kamu."

"Adu duhh, iya Bi. Sakit tau." Mentari menghindar dari cubitan pedas bibi Nolan pada lengannya. Mengusapnya pelan dengan wajah meringis.

Gimana gak lancang kalau Baskara saja semena-mena padanya.

"Kamu masih suka sama Tuan Muda?" tanya bibi Nolan.

Mentari melotot kaget. "Bibi apaan sih! Kalau ada yang denger gimana?" bisik Mentari, melihat sekelilingnya panik. "Lagian kenapa sih, Bi. Sama-sama manusia juga."

"Iya, sama-sama manusia tapi kastanya yang beda. Sadar diri itu penting, Tar. Jangan sukanya menghayal gak jelas." bibi Nolan mendorong kepala Mentari dengan telunjuknya. "Cepetan sana, berangkat." bibi Nolan berjalan ke belakang, dapur.

Tarik napas, buang. Jangan hiraukan, Mentari, jadilah gadis yang selalu berpikir optimis. Mentari cantik kan kloningannya Cinderella, jadi pasti nasibnya bakalan sama kayak Cinderella. Mentari menenangkan harga dirinya yang sedikit tersentil akibat ucapan bibinya. Sekarang lebih baik Mentari belajar dengan giat. Sukses itu butuh usaha. Menjadi babu seumur hidup bukanlah cita-citanya.

Unpredictable Journey [Tamat]Där berättelser lever. Upptäck nu