Setelah malam pertama

181K 9.3K 242
                                    

[Tiga puluh satu]

Sembari menunggu kepulangan Baskara yang sedang melapor ke rumah pak RT, suami bu Rumi, Mentari duduk melipat kakinya di atas sofa. Sebelah tangannya sibuk mengelus bulu Mochi yang ada dipangkuannya sedangkan matanya terarah penuh ke televisi, menonton tayangan gosip malam.

Sudah dua jam sejak Baskara pamit, dan kini sudah jam 10 lebih namun batang hidungnya tak kunjung muncul dihadapan Mentari.

Berita publik figur yang menikah dengan acara mewah dan mengundang ribuan tamu mengingatkannya pada pernikahan sederhananya dengan Baskara. Foto mereka berdua saat itu pun tak ada, membuatnya berdenyut nyeri saat menyadarinya.

Kesal karena saat itu ia sungguh merasa sangat cantik dengan riasan dan kebaya pengantinnya, namun tidak ada gambar yang diambil bersama suaminya.

Gimana mau foto bareng kalau kamu aja langsung pingsan pas lihat suamimu!

Mentari memaki pelan dalam hati dan mulai bertanya-tanya pada dirinya, sebenarnya apa alasan mas Fajar pergi di hari pernikahan mereka.

Mentari tak menyesali apa yang sudah ditakdirkan Tuhan untuknya, hanya saja ia perlu tahu kebenarannya agar tak merasa bodoh karena tak mengetahui hal-hal yang bahkan menyangkut dirinya sendiri. Atau memang orang-orang menganggapnya seperti itu?

Merasa sangat kesal, Mentari berdiri, mengakibatkan Mochi yang sedang bersantai dipangkuannya terjatuh hingga kucing itu mengeong dengan nada marah. Mentari menoleh terkejut.

"Astaga, maafin mama." Mentari hendak menggendong kucing itu kembali, namun Mochi lebih dulu melenggang santai ke arah kamar, tidur dibantal berbulunya yang diletakan didekat kaki ranjang.

Mentari menghela napas, mematikan tv dan ikut melangkah mengikuti Mochi bertepatan dengan bunyi ketukan pintu dan panggilan Baskara.

"Mentari? Buka pintunya."

Dengan dengusan keras Mentari berbalik, membuka kunci pintu dan melihat Baskara yang berdiri dengan senyum tampannya.

"Kenapa pulang? Bukannya Kakak diangkat jadi anak sama pak RT?" sindir Mentari, bertanya dengan nada dibuat biasa saja, berdiri memegang handel pintu, tidak membiarkan Baskara masuk dengan mudah.

"Loh, kenapa tiba-tiba marah?"

"Siapa yang marah? Aku cuma nanya aja kok."

"Kalau lo gak marah kenapa nanyanya sinis gitu? Dan ini, lo gak ngebolehin gue masuk? Mau dikutuk sama malaikat gara-gara durhaka sama suami sendiri?"

Mentari mendongak menatap mata Baskara dengan alis tertaut, tidak suka diancam dengan kalimat itu.

"Boleh kok!" jawab Mentari cepat dan berbalik masuk ke dalam kamar.

Dengan tidak santai Mentari duduk dan membaringkan diri, menarik selimut hingga ke leher dan membelakangi suaminya yang kini mengangkat alis dengan wajah tidak tertarik. Baskara mengambil handuk dan masuk ke dalam kamar mandi tanpa bertanya lebih lanjut pada Mentari.

Dasar gak peka! dumel Mentari berbisik, menggigit selimut dengan gemas sebelum memaksa matanya tertutup dan berharap bisa terlelap segera.

Beberapa menit kemudian, aroma semerbak sabun menyusupi indera Mentari. Gadis itu menahan diri untuk tidak berbalik dan melempar bantal pada wajah Baskara, ia lebih memilih semakin memejamkan mata mencoba untuk menghalau pikirannya yang terus memerintahkannya untuk melihat suaminya.

Sisi kasur di belakang Mentari terasa tertekan sebelum Baskara menyingkap selimut dan ikut masuk ke dalam. Memeluk tubuh Mentari yang terbalut kaos dan celana lembut bermotif bunga matahari.

Unpredictable Journey [Tamat]Where stories live. Discover now