Menjemput restu

135K 9.1K 396
                                    

[Dua puluh tujuh]

"Ini udah semua, Bi?" Alvino mengatur tas pakaian bibi Nolan ke dalam bagasi mobilnya.

"Udah, Tuan. Pake repot-repot segala, makasih ya."

"Tenang aja, itu gunanya anak muda, harus menolong yang lebih tua biar hidupnya bermanfaat." Alvino tersenyum manis. "Bukannya ngajak berantem gak jelas!" lanjutnya menatap sinis ke arah Baskara yang hanya berdiri di depan teras bersama Mayang dan Agus.

Baskara hanya memutar mata tak acuh, menunggu Mentari membereskan barang-barangnya di dalam kamar. Mereka akan pulang hari ini, termasuk bibi Nolan yang akan kembali bekerja di mansion Adhyastha.

"Baskara?" panggil Mayang pelan, Baskara menoleh, menemukan Mayang yang menatapnya dalam.

"Ibu sebelumnya gak kenal sama kamu, Ibu juga gak tau kalau ternyata Mentari punya hubungan sama majikannya sendiri. Ibu gak tau apakah keluarga kamu akan menerima Mentari sepenuhnya, tapi Ibu cukup tenang karena setidaknya kalian saling mencintai."

Baskara diam, menatap lekat-lekat wajah ibu mertuanya sebagai tanda keseriusannya.

"Mentari sekarang adalah isteri kamu, tanggung jawab kamu. Ibu harap kamu bahagiakan dia karena selama ini Ibu tidak cukup baik merawatnya dan membuatnya bahagia. Ibu tidak tau apa masalah yang sedang kalian alami, tapi Ibu harap semuanya akan baik-baik saja. Jaga dia, tolong jamin kebahagiannya. Apa Ibu bisa percayakan Mentari pada kamu Baskara?" Mayang menatap Baskara penuh pengharapan.

Mayang sadar, mereka tidak cukup baik menjadi orang tua Mentari. Tidak pernah sekalipun memanjakannya selama hidupnya tinggal bersama. Tidak ada kue ulang tahun seperti yang Mentari sering ceritakan waktu SD, tidak ada boneka dan sepatu baru sebagai hadiah karena peringkat pertama, atau bahkan bekal sekolah untuk makan siang.

Mereka menganggap hal-hal kecil itu tidak perlu meskipun Mentari sangat menginginkannya. Seperti kata mereka dulu, Mentari anak yang menyusahkan, tidak berguna, dan untuk menyingkirkannya mereka mengirim Mentari untuk tinggal saja bersama adiknya, Nolan.

Dan setelah semua yang mereka lakukan, Mentari tetap memanggilnya Ibu dan Bapak, tetap pulang untuk melihat mereka dengan membawa sejumlah uang dan oleh-oleh. Apa mereka masih pantas dipanggil orang tua?

"Apa ibu masih meragukan saya? Mungkin Mentari dan Ibu masih belum tau sebesar apa saya mencintainya, saya dan Mentari juga mungkin terlalu muda untuk menikah. Tapi Ibu tidak perlu khawatirkan kami, seperti yang Ibu bilang, saya adalah suaminya sekarang, dan itu artinya sudah menjadi kewajiban saya untuk melakukan yang terbaik untuk kehidupan Mentari ke depannya. Saya berjanji demi hidup dan mati saya."

Baskara menatap Mayang sungguh-sungguh, meyakinkannya dengan sepenuh hati.

Agus tertawa renyah, menepuk-nepuk bahu kekar Baskara. "Saya percaya sama kamu, Baskara. Kamu emang yang terbaik, lebih baik dari Fajar. Kamu boleh bawa Mentari kemanapun kamu pergi, berbahagialah kalian, kamu tidak perlu menawari kami tinggal di istana kamu, cukup pastikan untuk mengirimi kami uang setiap bulan, itu sudah lebih dari cukup untuk orang tua seperti kami ini."

Agus merangkul bahu Mayang sambil tertawa bahagia. Memang menikah dengan Mayang membawanya pada keberuntungan besar setelah hidup melarat bertahun-tahun, tidak sia-sia ia membersarkan Mentari. Agus juga tidak menyesal telah membuang Mentari ke kota, dengan begitu Mentari bisa bertemu dengan jodohnya yang kaya raya ini. Beruntungnya mereka mempunyai menantu seperti Baskara.

"Cukup, Pak! Tuan Baskara bukan bank pribadi Bapak yang bisa mengirim uang setiap bulan! Kalau Bapak mau uang, kenapa gak kerja aja? Mentari lihat selama ini Bapak masih sanggup berkeliaran untuk minum dan berjudi."

Unpredictable Journey [Tamat]Kde žijí příběhy. Začni objevovat