Terbongkar

129K 10.4K 599
                                    

[Tujuh belas]

"Adu duh. Haah sakit banget, badan jadi pegel-pegel." Mentari duduk berselonjor di pinggir kasurnya.

Punggung kaki kiri serta buku-buku jarinya tergores saat jatuh kemarin, alhasil tadi pagi saat bangun tidur, Mentari seperti pasien yang baru sadar dari koma. Tubuhnya kaku dan sakit, kakinya juga tidak bisa ditekuk. Kenapa nasibnya tidak pernah baik? Mentari heran dengan takdirnya.

Dan sore ini setelah ia memaksakan dirinya untuk mandi, dan bersiap-siap untuk berbaring, suara lembut dan ringan memanggil namanya riang. Terdengar familiar, oh tentu saja.

"Mentari, ayo keluar jangan dikamar terus. Kak Baskara sama sepupunya udah nunggu ditaman samping."

"Ngapain? Badanku sakit semua, aku mau tidur aja." keluh Mentari lemas.

"Jangan. Kak Baskara sama sepupunya itu maksain. Katanya kalau kamu gak mau disuruh ganti motornya." ujar Laras masih di ambang pintu.

Alvino sialan!

Mentari meringis, berjalan keluar mengikuti langkah Laras. Melewati ruang keluarga, Sintya menyapanya.

"Udah baikan, Tar?"

"Udah lumayan, Nyonya. Cuma sakit sedikit."

"Lain kali kalau mau belajar hati-hati, minta yang ajarin kamu duduk juga dibelakang biar dijagain." Sintya menasehati sambil menikmati kudapan.

"Hehe, iya, Nyonya."

"Ya udah, sana main. Laras yang betah ya dirumah Tante ...." Sintya mengalihkan pandangannya ke arah Laras, tersenyum lembut.

"Oke, Tante." Laras menjawab ceria.

Mereka kemudian bergabung dengan Baskara dan Alvino yang sudah duduk beralaskan karpet lembut dengan meja bundar pendek di tengah.

Dengan wajah kesal, Mentari duduk, masih dengan kaki diluruskan. Baskara yang melihat itu tidak kalah masamnya, masih kesal mengingat kejadian kemarin.

Mentari berhadapan dengan Baskara, dan disamping kiri Mentari, Laras duduk berdampingan dengan Baskara, dan Alvino di samping kanan Mentari.

Yang seharusnya marah, kan aku. Kenapa dia yang jutek gitu?!

Sedangkan Alvino masih tidak bisa menerima motor matic yang membuat gebetannya semakin lengket harus rela tergores dengan sangat buruknya.

"Lama banget sih," Alvino membuka suara dengan mata melotot.

"Jangan galak gitu, kamu jadi mirip sama sepupu kamu." Mentari menimpali dengan tidak sopan. Biarkan saja, ia masih marah dengan Baskara.

Baskara hanya cuek saja, Laras kemudian bersuara. "Kita jadinya mau main apa?"

"Main truth or dare aja! Seru tuh kalau bongkar-bongkar aib orang." usul Alvino tiba-tiba bersemangat.

"Gak usah banyak mau, disini cuma ada jenga." Baskara meletakkan kotak jenga ke tengah meja.

Laras bertepuk tangan setuju. Mentari memutar mata malas.

"Tapi main ToD lebih seru!"

"Jangan dibuat ribet. Pake yang ada aja kenapa sih!?"

"Gue yang bikin acara ngumpul ini, jadi gue yang berhak nentuin." ucap Alvino final dan berlari ke dalam mansion.

"Kalau mau main ToD, ngapain bawa ginian segala coba?" Baskara melempar kotak jenga itu hingga beberapa balok kecil berhamburan di rumput hijau yang terawat rapi.

Dan Mentari semakin malas berada di sana. Matanya sudah sayu ingin terlelap.

Serius mereka memanggilnya hanya untuk melihat dua lelaki bersaudara itu beragumen?

Unpredictable Journey [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang