Selangkah lebih jauh

119K 10.3K 281
                                    

[Sebelas]

Sejak pagi-pagi buta Mentari menyiapkan tas yang berisi pakaian dan juga oleh-oleh kecil yang sengaja ia beli untuk kedua orang tuanya. Sekarang jam masih menunjukkan pukul enam pagi namun bibi Nolan sudah bertandang di kamar Mentari.

Bibi Nolan berkali-kali menghapus air matanya, terisak kecil dengan tangan Mentari yang mengusap punggung gemuknya pelan.

"Mentari gak pa pa, Bi. Bibi seharusnya lebih tenang karena nanti Mentari gak sendiri lagi, mas Fajar orang baik, pasti mas Fajar bakalan selalu jagain aku." ucap Mentari dengan senyum menenangkan, namun tidak cukup untuk membuat bibi Nolan tenang dan memberhentikan tangisnya.

"Iya, Bibi tau. Tapi tidak harus secepat ini, kamu masih harus belajar dan mengejar cita-cita kamu. Ibu sama ayahmu itu sama aja, udah lari dari tanggung jawab membesarkan kamu sekarang masih juga gak tau malu nyuruh kamu nikah buat bayar hutang. Bibi sakit hati sama mereka, bibi yang ngurus kamu di sini sampe sebesar ini, bibi yang perjuangin sekolah kamu sampe kuliah, pokoknya bibi gak sudi kalau kuliah kamu putus. Bibi gak rela." ujar Bibi Nolan menggebu, menyusut cairan yang keluar dari hidung juga matanya dengan lengan baju yang ia gunakan.

Mentari hanya bisa tersenyum maklum, tahu betul kalau bibi Nolan memang sangat berjasa dihidupnya semenjak tinggal di kota besar ini. "Mentari akan berusaha menjelaskan masalah kuliah Mentari sama Mas Fajar nanti, Bi. Dia pasti mengerti karena dia kan juga dari keluarga terpelajar."

Bibi Nolan mengangguk pelan menyetujui, kemudian menggandeng Mentari yang sudah menjinjing tasnya. "Bibi anterin sampe ke pangkalan ojek ya, Neng."

"Uuhh, Mentari sendiri aja, Bi. Bibi cukup anterin sampe di sini aja, jalan kaki juga gak bakalan lama kok." Mentari memeluk erat badan tambun milik bibi Nolan, terbesit dipikirannya tentang badannya yang mungkin akan sebesar ini jika sudah tua nanti, saat ini saja ia kadang-kadang kesusahan dengan ukuran dada juga tubuh yang lainnya.

"Nanti kalau sudah naik kereta telpon Bibi ya! Kamu ada pulsa kan?"

"Iya dong, kan Bibi udah isiin sepuluh ribu." ujar Mentari terkekeh, dibalas cubitan gemas oleh bibi Nolan dipipinya.

Mentari mengulurkan tangan untuk membuka pintu pagar besi bagian belakang mansion Adhyasta, namun menoleh kebelakang saat terdengar suara yang memanggilnya.

"Mentari! Kok buru-buru sekali sih? Ayo sini, biar Baskara yang nganterin kamu." Sintya berjalan cepat dan menarik tangan Mentari untuk masuk kembali ke dalam mansion.

"Eh, Nyonya, gak perlu. Mentari bisa sendiri kok."

"Gak papa, nanti kalau kamu sendiri terus kenapa-napa di jalan kan gak ada yang tau. Sama Baskara aja biar dia ada gunanya." sahut Sintya cuek.

Mentari menoleh ke arah bibi Nolan yang hanya menatapnya sambil mengedikkan bahu. Ia menelan ludah kasar. "Nyonya, Tari beneran deh bisa berangkat sendiri. Gak enak kalau ngerepotin tuan Baskara." kata Mentari takut-takut.

"Udah kamu tenang aja." Sintya melepas lengan Mentari dan mendorong pintu kamar Baskara, "Bas!! Bangun kamu!"

Mentari mengurut dada kaget, terkejut dengan tindakan Sintya yang kini menepuk keras bokong Baskara. Antara ingin tertawa dan takut, Mentari memutuskan untuk terdiam. Sudah yakin kalau Baskara akan menolak mentah-mentah usulan Sintya untuk mengantarnya ke stasiun.

"Bunda apaan sih pagi-pagi buta udah kdrt, aku masih ngantuk." Baskara mengerang kemudian menjauh dan menutup tubuhnya dengan selimut di sisi lain kasur besarnya.

Sintya menatap Mentari dan meringis pelan. "Mentari tunggu sebentar ya, ini sebentar lagi juga bangun kok." kata Sintya lembut. Ia kemudian berjalan ke sisi kasur dan menarik paksa selimut Baskara. "Bas bangun gak kamu! Anterin Mentari ke stasiun sekalian ambilin kue Bunda di tante Silvia!"

Unpredictable Journey [Tamat]Where stories live. Discover now