Terasa sukar

117K 8.7K 550
                                    

[Tiga belas]

Dengan tubuh dilapisi jaket dan celana training, Mentari duduk dengan nyaman di saung yang dibangun di tengah sawah. Padi yang sudah lumayan tinggi dan hijau terlihat melambai-lambai tertiup angin malam.

Besok sore ia sudah harus kembali ke kota melanjutkan pekerjaannya, dan mengundurkan diri lima hari sebelum pernikahannya diadakan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Besok sore ia sudah harus kembali ke kota melanjutkan pekerjaannya, dan mengundurkan diri lima hari sebelum pernikahannya diadakan. Secara jelasnya, Mentari akan pulang lagi ke desa sembilan hari lagi.

Kedua pihak keluarga sebenarnya menyatakan keberatannya jika Mentari kembali bekerja, selain membuang-buang waktu diperjalanan, kepercayaan orang tua yang melarang calon pengantin bepergian juga menjadi alasannya, pamali katanya. Namun Mentari keukeuh dengan pendiriannya, beralasan tidak enak dengan majikannya yang sudah baik kepadanya, juga untuk menjemput bibi Nolan. Dan dengan berat hati semua menyetujui dengan syarat Fajarlah yang harus mengantar.

Tatapan Mentari jatuh ke jari manisnya yang terpasang cincin emas putih dengan ukiran sederhana, terlihat mengkilap saat diterpa cahaya lampu kekuningan yang sudah tua. Cantik, batin Mentari.

"Kamu gak suka?"

Mentari terkejut mendengar pertanyaan itu. Saking asiknya melamun dan terbawa suasana, ia sampai melupakan kehadiran seseorang yang dari tadi sore menemaninya berkeliling kampung.

"Suka kok, Mas. Cincinnya bagus."

"Tapi kok ngelihatnya gitu banget? Mas jadi was-was sendiri kalau tiba-tiba kamu lepas gara-gara gak suka." Fajar terkekeh pelan.

"Bukan gitu maksudku, Mas. Mentari cuma gak nyangka aja dapet cincin mahal kayak gini. Ini perhiasan pertama Mentari. Jadi ... ya gitu."

Keduanya kembali terdiam, sama-sama menikmati waktu dengan pikiran yang berkelana. Mentari melirik wajah Fajar sekilas, melihat betapa berwibawanya pembawaan lelaki itu. Lelaki dua puluh enam tahun yang sekarang menjabat sebagai kepala desa di kampungnya.

Itu sungguh pencapaian luar biasa menurut Mentari. Fajar yang masih muda sudah dipercaya masyarakat untuk memegang kendali atas kejayaan kampung, dan sekarang lelaki itu adalah calon suaminya.

"Hmm, Mas?" Mentari membuka suara pelan. "Tentang ... kuliah Mentari, Mas ... beneran gak keberatan Mentari lanjutin walaupun kita udah nikah?"

"Mas gak akan melarang, Mentari. Kita tau sendiri pentingnya pendidikan di zaman sekarang ini. Mas gak akan membedakan pendidikan untuk laki-laki ataupun perempuan, semuanya sama kan?" Fajar tersenyum tipis pada Mentari yang menatapnya lekat.

"Mas juga gak akan nuntut banyak sama kamu, selama di dalam diri kamu niatnya belajar, Mas sanggup biayain kamu sampai gelar doktor."

Mentari mengerjap pelan, kagum dengan pemikiran Fajar yang terbuka masalah pendidikan. Kebanyakan orang kampung dan orang tua pasti menganggap pendidikan bagi perempuan bukanlah hal penting, sukur-sukur jika lulus SMU. Dipikiran orang-orang, perempuan itu hanya pantasnya bekerja disekitaran dapur dan sumur, mengurus anak dan kebutuhan suami.

Unpredictable Journey [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang