Rezaya-9: Merasa Aman

16.7K 1.8K 293
                                    

Dalam hidup kamu hanya memiliki dua pilihan, survive or die.

***

TUBUH Alena terpaku begitu menemukan Jovan yang tertidur di depan rumahnya. Duduk di lantai dan bersandar pada tembok tanpa alas apapun, hanya baju yang melekat di tubuhnya sebagai penghangat.

"Jo bangun" Alena menepuk-nepuk pipi Jovan pelan. Jovan membuka matanya perlahan, menatap Alena yang wajahnya begitu khawatir.

"Kenapa tidur disini? Nanti kamu sakit" kata Alena penuh perhatian.

"Mau berangkat sekolah?" Tanya Jovan tanpa menjawab pertanyaan Alena. Reflek, kepala Alena mengangguk begitu saja.

"Ayo" ajak Jovan, meninggalkan Alena begitu saja.

Alena menatap tubuh Jovan. Bertanya-tanya apakah lelaki itu tidak sakit badan? Apakah tidak kedinginan? Apakah tidak di gigit nyamuk?

"Kenapa bisa tidur disini?" Tanya Alena dari belakang Jovan.

"Mastiin lo gak bawa om-om ke rumah" kata Jovan sinis.

Bibir Alena terkatup rapat. Tak lagi memperdulikan seorang Jovan. Ia memilih untuk segera menaiki motor sebelum ucapan pedas Jovan kembali terlontar.

***

"Nanti pulang nya gue jemput, gak usah ganjen sama cowo lain" pesan Jovan sebelum berlalu meninggalkan Alena begitu saja di depan gerbang sekolah.

Alena menghembuskan napas pelan, menatap kepergian Jovan dengan motor maticnya.

Dengan raut wajah datar, Alena berjalan memasuki pelataran sekolah. Meski sudah berteman dengan Safira dan kenal dengan inti The Marvel, bukan berarti segala bentuk hinaan padanya telah hilang.

Mereka menghina Alena tidak lagi secara terang-terangan. Hanya lewat tatapan atau saling berbisikan dengan teman lainnya. Bagi Alena itu tidak lah aneh, terlalu sering di anggap hina membuatnya terbiasa.

Sadar diri adalah hal penting dan Alena sudah cukup sadar siapa dirinya. Yang membicarakan Alena terlalu banyak, ia tidak akan sanggup menutup mulut mereka. Terlebih, Alena bukan siapa-siapa. Ia tidak memilik seseorang untuk membela atau melindunginya. Safira tidak mungkin ada untuk nya selamanya.

Tapi Alena memiliki kedua tangan yang bisa menutup telinga dan fokus terhadap masa depannya. Karena hidup adalah tentang survive or die.

Begitu tiba di kelas, ia menyimpan tas nya dan berjalan menuju kantin untuk sarapan. Bahan makanan di rumahnya sudah menipis, terlebih gaji nya di potong jadi ia harus menghemat pengeluaran.

"Alena!"

Reflek, Alena berbalik saat seseorang memanggilnya dengan lantang. Tidak jauh darinya, Reza berjalan menghampiri dengan senyum ramah seperti biasa.

"Mau kemana?" Tanya Reza, begitu berdiri di hadapan Alena.

"Kantin, sarapan"

"Bareng gimana? Gue juga belum sarapan" ajak Reza yang di jawab anggukan oleh Alena.

Keduanya berjalan beriringan menuju kantin. Mengundang perhatian seluruh siswa di koridor yang cukup ramai. Berbagai bisikkan membicarakan keduanya dan lebih membicarakan hal-hal buruk tentang Alena.

Terlalu banyak bisikkan hingga terdengar ke telinga Reza dan Alena. Namun, melihat betapa cueknya Alena dengan keadaan sekitar membuat Reza ikut bersikap seakan tidak ada apa-apa.

"Gue aja yang pesen, lo mau makan apa?" Tanya Reza saat keduanya tiba di kantin.

"Gue roti cokelat, yang harganya tiga ribu aja" pesanan Alena membuat Reza terbengong sebentar sebelum akhirnya mengangguk dan pergi memesan makanan.

REZAYA [REVISI]Where stories live. Discover now