[31]. Tamat

1K 136 5
                                    

TIGA PULUH SATU


***

MELODY sudah berpindah ke kamarnya. Ia kini tengah berada di atas ranjang dengan tubuh yang berbaring lesu. Yah, Melody benar-benar lelah. Ia lelah dengan semuanya--semua yang menimpanya. Kenapa saat dirinya menemukan setitik kebahagiaan, takdir selalu saja ingin merebutnya darinya?

Dulu, sebelum Diego muncul di hidupnya, hidup Melody sungguh hampa. Sangat, sangat monoton. Melody masih ingat bagaimana ia pernah mencoba bunuh diri hanya karena rasa kesalnya terhadap nasib. Ia hidup sendiri, mandiri, hanya ditemani sepi. Melody juga tidak mempunyai seorang pun teman untuk menjadi tempatnya berkeluh kesah. Selama ini Melody selalu menyimpannya seorang diri. Namun, saat sosok itu datang. Hidup Melody yang putih-abu itu mulai tercoret warna. Tingkah Diego seakan membawa Melody ke lembaran baru. Lelaki itu menggoreskan sedikit tinta di hidupnya yang sangat hampa. Tapi sekarang, saat Melody mengetahui akibat jika lelaki itu tetap bersamanya, Melody tidak bisa apa-apa lagi. Ia tidak bisa egois jika berhubungan dengan nyawa dan kedamaian orang lain. Melody sudah yakin, bahwa dirinya akan membujuk Diego agar lelaki itu mau kembali ke dunianya. Walaupun, resikonya ia kembali sendiri. Tidak apa, setidaknya orang lain bisa bahagia. Setidaknya orang lain tidak merasakan penderitaan yang sama dengannya. Cukup dirinya, jangan orang lain.

"AUSTIN!"

Melody tersentak ketika telinganya mendengar teriakan itu. Melody sangat mengenali suaranya. Itu ...

Suara Diego!

Sontak Melody langsung bangkit lalu berjalan sambil sesekali berjingjit--menahan sakit, mendekati jendela, hingga membuatnya dapat melihat dengan jelas bagaimana sesosok lelaki nampak menggedor-gedor pintu rumah ini.

Senyuman terbit di wajah cantik Melody. Gadis ini langsung berjalan ke luar kamar--hendak membukakan pintu utama sebelum sebuah tangan menghentikan pergerakannya.

"Lo diam di kamar, Mel. Biar gue yang buka pintu," ucap Austin--mendorong Melody untuk kembali masuk ke dalam. Tentu saja Melody memberontak, ia sangat ingin bertemu dengan Diego saat ini.

"Gak mau! Gue mau ketemu sama Diego! Lepasin gue!" Melody semakin memberontak ketika Austin malah menggendongnya seperti karung beras dan melemparnya ke atas ranjang. Setelah itu, Austin langsung berlari ke luar kamar dan segera mengunci pintu, membuat Melody yang diperlakukan seperti itu tak bisa tinggal diam.

Melody tak kehabisan akal. Ia kini berlari dan lupa bahwa kakinya masih dalam masa pemulihan. Melody meringis, berusaha menetralkan rasa nyerinya lalu melanjutkan langkahnya untuk sampai di jendela. Ia akan keluar lewat jendela ini sebagaimana ia kabur dulu.

Sial.
Nampaknya nasib baik tak berpihak kepadanya.

Austin telah menggembok jendela tersebut sehingga Melody tak bisa membukanya. Melody memukul dinding dengan asal--merasa frustasi dengan semuanya. Jika seperti ini, bagaimana ia bisa bertemu dengan Diego?

***

Mata Xevanya membulat ketika ia melihat Diego tengah memukuli kakaknya Austin--dengan membabi buta. Lelaki itu nampak kesetanan, ingin membunuh Austin.

Tadi saat Diego mengetahui kebenarannya, lelaki itu langsung melesat ke rumah Austin dan meninggalkan Xevanya--membuat Xevanya langsung mengejarnya ke sini, ke rumah Austin. Dan sekarang, Diego benar-benar berubah menjadi seorang iblis. Lelaki itu telah dipenuhi oleh amarah.

"Diego, cukup!" teriak Xevanya-- menghalangi tubuh Austin seraya merentangkan kedua tangannya, bermaksud membentengi.

Nafas Diego masih menggebu-gebu. Ia sungguh sangat marah. Ia bisa saja langsung membunuh Austin jika Xevanya tidak menghalanginya saat ini. Bagaimana pun juga, Diego tidak akan menyakiti seorang wanita.

"Di mana Melody?" tanya Diego--penuh penekanan sambil menatap Austin dengan tatapan tajam.

Austin menyeka darah yang keluar dari sudut bibirnya. Diego benar-benar tak asa-asa dalam menyiksanya tadi. "Ratu Rea pengen lo kembali ke kerajaan." Diego menggeram.

"Bukan itu jawaban yang gue mau!" tegasnya--membuat Xevanya langsung bertindak.

"Melody ada di kamar, tepatnya di lantai dua," balas Xevanya cepat.

Diego langsung berlari ke tempat yang dituju. Tak perlu menunggu lama, dirinya kini sudah tiba di depan sebuah pintu yang Diego yakini ruangan inilah yang Xevanya maksud.

Diego mencoba membuka pintu tersebut namun tidak bisa. Tanpa berpikir panjang lagi, dirinya langsung mendobrak--membuat pintu itu terbuka.

"Diego ..."

Mata Diego mengerjap beberapa saat ketika ia melihat sesosok gadis tengah melihatnya dengan tatapan sendu, seakan mengatakan bahwa ia sudah lama menunggu kehadirannya.

Diego tersenyum lebar dan segera berlari mendekati Melody, meraih tubuh mungil itu kemudian mendekapnya dengan sangat erat.

"Maafin gue, Mel, maafin gue ..."

Diego mempererat pelukannya, tidak ingin kehilangan Melody untuk kedua kalinya. Sungguh, ia tidak tahu harus menjelaskan bagaimana lagi. Ia benar-benar mencintai Melody, ia tidak ingin kehilangannya.

Melody membalas pelukan Diego, melepas semua rindu yang sempat di pendamnya. Wajahnya tenggelam di dada bidang lelaki tersebut, membuat Diego dengan leluasa bisa mencium pucuk rambutnya dengan sayang.

Diego melepas pelukannya lalu beralih untuk menangkup kedua pipi Melody dengan lembut, menatapnya dengan tatapan intens. "Lo gak apa-apa kan, Mel? Austin gak nyakitin lo kan?" tanya Diego beruntun.

Melody menggelengkan kepalanya dengan pelan seraya kembali memeluk Diego. Entahlah, ia kini merasa ingin berlama-lama merasakan kenyamanan ini. Rasa rindunya belum sepenuhnya terobati. Ah, Apakah Melody sudah mencintai sosok ini?

"Maaf, Diego ..."

Suara itu membuat pelukannya terlepas. Keduanya langsung menoleh ke arah sumber suara, memperlihatkan Xevanya dan Austin yang telah berdiri di ambang pintu. Itu Xevanya yang berbicara. Gadis itu nampak sangat menyesal, terlihat jelas dari raut wajahnya.

Diego menatapnya dengan wajah dingin. Ia lalu meraih tangan Melody dan menariknya untuk ke luar dari sana, melewati sepasang adik-kakak itu tanpa berniat untuk meliriknya.

Melody menyempatkan diri untuk menoleh ke arah Austin. Tatapan sendu dari lelaki itu membuat Melody sedikit iba. Apalagi melihat wajah tampannya yang sudah dihiasi oleh legam membuat Melody yakin, bahwa Diego telah memberikannya pelajaran.

Setelah keluar dari rumah tersebut. Diego langsung membukakan pintu mobilnya dan menyuruh Melody untuk masuk. Melody menurutinya. Kemudian Diego ikut masuk melewati pintu kemudi dan keduanya pun melaju--pergi dari rumah Austin. Diego tidak akan pernah meninggalkan, apalagi membuat Melody jauh-jauh darinya lagi. Tidak akan.

MELODY [END]Where stories live. Discover now