[28]. Tak Kenal

953 120 0
                                    

DUA PULUH DELAPAN

***

MATAHARI mulai menampakkan sinarnya. Seperti biasa, Diego memberhentikan mobilnya tepat di parkiran sekolah. Matanya sesekali melirik ke arah Melody yang kini beranjak untuk keluar dari mobil. Entah kenapa, Diego merasa, Melody berubah. Saat dirinya berada di dekat Melody, ia merasa gadis itu terasa asing baginya. Apa mungkin, cinta Diego mulai memudar? Tidak mungkin. Diego sudah memastikan bahwa dirinya memang benar-benar mencintai Melody.

Diego berjalan keluar mobil lalu langsung menggandeng tangan Melody. Gadis itu tidak menolaknya, ia malah semakin mempererat genggaman Diego di tangannya.

Keduanya lalu berjalan menyusuri koridor, menuju kelas. Namun saat melewati belokan lorong, Melody berpapasan dengan Regal. Lelaki itu nampak terkejut ketika melihat Melody yang menggandeng Diego dengan mesra.

"Kalian udah jadian?" tanya Regal to the point, membuat Melody mengernyitkan dahi. Ia tidak mengenal lelaki ini.

"Iya, kenapa?" Melody tersentak ketika tiba-tiba Diego menariknya untuk bersembunyi di belakang tubuhnya, membentengi Melody dari Regal.

Regal berdecih. Ia masih ingat bagaimana dulu Diego memukulnya habis-habisan. "Santai aja dong, bro. Gue gak akan ngerebut Melody dari lo. Gue sadar diri. Kalau Melody bahagia, gue juga bahagia." Setelah mengucapkan itu, Regal melangkahkan kakinya untuk pergi--seperti tak ingin memperpanjang masalah.

Melody masih menampilkan raut wajahnya yang kebingungan. Ia tidak mengerti dengan apa yang terjadi. Ia tidak mengenali lelaki itu. Lantas, tanpa berpikir panjang lagi, Melody bertanya, "Dia siapa, Diego?" tanyanya, membuat Diego refleks menoleh ke arahnya.

Salah satu alis Diego terangkat. Apakah Melody sedang bercanda? Bagaimana bisa Melody tidak mengenali lelaki tersebut? Sudah jelas, Melody lebih lama mengenal Regal daripada dirinya. Tetapi kenapa Melody seakan-akan tidak mengenal Regal sedikitpun?

Melody yang menyadari perubahan raut wajah Diego langsung sadar. Kini ia harus berperan menjadi Melody. Ia bukan lagi Xevanya, melainkan Melody. Pasti Diego kini tengah kebingungan dengan pertanyaan bodohnya.

"Ah, udahlah lupain. Mending kita langsung masuk ke kelas aja yuk!" Melody langsung menarik tangan Diego, berniat untuk membuat lelaki ini lupa akan pertanyaannya. Sementara Diego hanya menurut saja. Alhasil, mereka kembali berjalan melanjutkan langkahnya menuju kelas.

***

Melody mengucek-ngucek matanya dengan perlahan. Ia lalu beralih untuk duduk, menoleh ke arah jendela yang masih tertutup oleh tirai. Matanya kini mengedar, mengamati setiap sudut ruangan yang ditempatinya sekarang. Ternyata keadaannya masih sama. Ia masih berada di kamar Austin.

Melody menghembuskan nafasnya dengan kasar lalu beranjak untuk bangkit. Sudah dua hari dirinya di sini. Sampai kapan Austin akan mengurungnya seperti ini? Bagaimana dengan sekolah, dan pekerjaan Melody nanti? Ah, lalu kemana Diego? Kenapa lelaki itu tak kunjung menjemputnya ke sini?

Srek

Melody membuka tirai hingga cahaya mentari menyoroti ruangan ini. Matanya bergulir untuk mengintip keadaan di luar rumah yang nampak sepi. Ah, Melody bisa saja dengan mudahnya melarikan diri. Tetapi masalahnya, Austin mengunci semua pintu hingga membuat Melody tidak bisa menginjakkan kakinya untuk ke luar rumah.

Melody mendudukkan tubuhnya di jendela, karena ada sedikit ruang yang membuat dirinya bisa duduk di sana. Tangan Melody mulai menyentuh kaca, sementara matanya mulai memejam. Sekarang ia seperti tokoh Rapunzel yang dikurung oleh penyihir di sebuah menara. Ia tidak bisa kemana-mana. Menyebalkan.

Melody berdecak lalu merubah posisinya menjadi berdiri. Kenapa ia menjadi lemah seperti ini? Di mana Melody yang dulu? Kenapa dirinya hanya bisa pasrah ketika Austin mengurungnya seperti ini?

Oke, kali ini Melody tidak akan diam. Bagaimana pun caranya ia harus keluar dari rumah ini.

Melody mencoba untuk berpikir, menyusun rencana yang akan ia pakai untuk melarikan diri. Setitik ide mulai muncuk di otaknya hingga membuat pupil mata Melody membesar.

Matanya kini mengarah ke arah jendela. Ya, Melody akan melarikan diri lewat jendela. Austin memang mengunci pintu, tetapi lelaki itu tidak sampai mengunci jendela. Dengan begini, ada sebuah kemungkinan untuk Melody bisa kabur dari sini.

Tangan Melody mulai beraksi. Ia mengutak-atik jendela agar benda itu bisa dibuka. Tak perlu waktu lama, ternyata ide Melody berhasil. Jendela itu kini terbuka sempurna, membuat Melody dengan leluasa bisa melewatinya.

Tanpa berpikir lagi, Melody langsung naik ke atas jendela dan meloncat keluar, bersamaan dengan Austin yang baru saja masuk ke dalam ruangan tersebut.

Mata Austin membelalak ketika melihat posisi Melody yang sudah berada di luar jendela. Pandangan mereka berpapasan, membuat Melody langsung berlari dari sana.

"MELODY!" Austin berteriak, ia sangat kaget. Lantas, dirinya pun langsung mengejar Melody. Austin tak akan pernah melepaskannya. Tidak akan.

.

.

.

Nafas Melody sudah tak teratur. Gadis ini telah berlari melewati gerbang rumah Austin. Rasa nyeri di kakinya mulai terasa, karena Melody tak memakai alas kaki sedikitpun. Kaki polosnya itu berlari menembus trotoar, berusaha untuk menjauh dari kejaran Austin yang mulai terlihat.

"Kayak lomba maraton aja gue," desis Melody--sesekali melirik ke arah belakang, memastikan Austin yang terus mengejarnya.

Mata Melody membelalak ketika ia melihat Austin yang terlihat berlari tak jauh di belakangnya. Melody langsung mempercepat tempo larinya, takut jika Austin berhasil mengejarnya. Sebenarnya ia bisa saja meminta bantuan orang lain untuk membantunya lepas dari kejaran Austin, tetapi ... mengingat para duyung bisa menghipnotis siapa saja, membuat Melody kembali berpikir dua kali untuk melakukannya.

Melody menjerit kecil ketika sebuah paku sukses menancap di telapak kakinya. Hal itu membuat lari Melody terhenti, ia meringis kesakitan. Bersamaan dengan itu, sebuah taxi berhenti tepat di sana--menurunkan penumpangnya. Tanpa berpikir panjang, Melody langsung masuk ke dalamnya dan membuat taxi kembali berjalan.

"Sial!" Austin berdecak sebal ketika Melody tak berhasil ia dapatkan. Tangannya kini merogoh saku lalu meraih handphonenya. Sedetik kemudian Austin menempelkannya tepat di daun telinga.

"Melody kabur. Usahain lo sama Diego jangan pulang dulu ke rumah. Gue takut Melody datang ke sana dan ngebongkar semua rencana kita."

________________________________

MELODY [END]Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin