Terasa sukar

Mulai dari awal
                                    

Tapi yang mereka tidak tau, seorang perempuan berpendidikan akan mampu untuk mengajarkan kepada anaknya hal-hal yang baik dan bijaksana. Merancang masa depan anak-anak, dimana isterilah yang justru akan berperan lebih banyak dari pada suami.

Mentari bukannya menutup mata dengan keadaan ekonomi sebagian besar orang-orang yang tidak berkecukupan, yang mungkin tidak mampu untuk melanjutkan pendidikannya lebih tinggi.

Pada dasarnya setiap orang tua berperan besar dalam pertumbuhan anaknya, orang tua yang sarjana ataupun tidak, semua orang berharap anaknya mempunyai kehidupan yang baik kedepannya.

"Makasih, Mas. Tapi kalau sampai s3, kayaknya otak Mentari yang bakalan mogok duluan."

Fajar tertawa lepas mendengar ucapan Mentari. Mentari bersemu malu, memukul pelan lengan Fajar. "Aduuh, kamu biasanya lucu begini ya? Bisa awet muda Mas kalau tiap hari bareng kamu."

"Mas Fajar apaan sih, orang biasa aja. Mas aja yang humornya receh." Mentari berdiri kemudian berjalan pelan meninggalkan Fajar yang masih tertawa kecil.

"Loh! Udah mau pulang, Dek?"

"Emangnya Mas mau duduk semaleman di situ? Gak nyadar apa digigitin nyamuk dari tadi."

"Gimana bisa sadar kalau wajah Mentari aja mampu mengalihkan duniaku."

Mentari yang sudah melanjutkan jalannya, kembali menoleh. "Wuuu ... gombal." Mentari memeletkan lidahnya.

"Maaf ya Pak kepala desa yang terhormat, emang bapak kira aku cewek apaan. Gombalan Bapak gak mempan." Mentari mengibaskan rambut sepundaknya dan kembali berjalan dengan terkikik pelan. Fajar di belakangnya juga kembali tertawa keras.

Mereka berjalan berdampingan, menyusuri jalanan yang di samping kiri dan kanannya ditumbuhi padi dan tanaman lainnya. Lampu-lampu jalanan semakin terlihat terang saat mereka sudah memasuki perumahan, tidak ada rumah bertingkat, kebanyakan hanya rumah satu lantai dengan pagar bambu sebagai batasan antara jalan dan halaman.

"Mbak Nana." panggil Mentari tersenyum lebar, menyapa wanita berhijab yang menggendong anaknya di depan pagar rumahnya.

"Wah, Mentari, Pak Fajar. Habis jalan-jalan ya?" Tiana atau yang sering dipanggil Nana oleh orang-orang, tersenyum ramah ketika melihat keberadaan Mentari dan Fajar.

Fajar berdiri di belakang Mentari, tersenyum tipis dan mengangguk singkat merespon ucapan Tiana.

"Iya, Mbak. Ini kok si ganteng belum tidur sih. Uluuluulu, senyumnya mana nak, senyum dong sama tante cantik." Mentari langsung terdistraksi oleh bayi lucu delapan bulan yang ada digendongan Tiana.

Melupakan keberadaan dua orang yang kini menatap canggung satu sama lain. Sebenarnya hanya Tiana yang selalu mengalihkan tatapannya dari Fajar, risih dengan Fajar yang terlihat terang-terangan meliriknya penuh minat.

"Iya ante Tari, Rama elum antuk, mau lihat intang intang ulu." jawab Tiana menirukan suara anak kecil.

Mentari terkekeh pelan saat tangan kecil Rama mencoba meraih rambutnya yang tejulur kedepan wajahnya. "Lucu banget sih kamu. tante jadi pengen punya yang gemesin kayak Rama ganteng ini. Ikut tante aja ya, Rama ganteng jadi milik tante." Mentari menekan-nekan pipi gembul Rama dengan jarinya.

Sudut hatinya merasa sedih saat mengingat Rama yang bahkan tidak pernah melihat ayahnya secara langsung. Suami Tiana meninggal saat kandungannya berjalan lima bulan, pasti sangat berat baginya, mengurus anaknya sendiri tanpa seorang suami.

"Rama kan punya, mbak, Tari. Kamu ya nanti bikin sendiri lah sama pak Fajar. Masa iya anak mbak kamu bawa-bawa." ujar Tiana ringan tertawa pelan, pandangannya berpapasan dengan mata Fajar yang hanya menatapnya lurus membuat Tiana menoleh cepat ke lain arah.

Unpredictable Journey [Tamat]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang