ZJM 6

115 24 4
                                    

[This FF does not mean to bring down any party. If there are similarities in names, places, etc, it is an accident.]

---

Dua hari kemudian...

Pandangan Giselle terasa berat untuk beralih dari wajah Zayn yang kini masih belum membuka matanya dengan perban membalut sebagian kepalanya. Tangannya masih setia menggenggam satu tangan pria itu yang anehnya tetap terasa hangat. Hatinya terasa ngilu ketika melihat beberapa alat pemacu jantung yang tertempel di dada Zayn.

Tidak ada orang lain selain mereka berdua di ruangan serba putih itu. Hanya ada suara putus-putus dari elektrokardiogram yang merekam detak jantung Zayn, yang mana membuat Giselle membenci alat itu tanpa alasan yang jelas. Padahal bagi seorang tenaga medis, seharusnya gadis itu telah terbiasa. Tapi, entahlah... rasanya di setiap bunyi dari alat itu membuat benak gadis itu berdebar tak keruan.

Gadis yang masih mengenakan pakaian yang dikenakannya sejak pagi itu telah meminta keluarga Zayn dan keluarganya, serta beberapa temannya untuk pulang ke rumah mereka masing-masing. Walaupun sang pembina sempat memintanya untuk berganti posisi, tetapi Giselle bersikeras ingin menemani Zayn hingga tersadar.

Waktu menunjukkan hampir larut, tetapi Giselle tidak merasakan kantuk sedikit pun. Walaupun tubuhnya terasa lelah dan sedikit kaku, namun ia masih enggan beranjak dari tempatnya.

Satu tangan Giselle mengelus pipi Zayn dengan lembut. "Aku tau kau kuat saat dokter mengatakan jantungmu melemah. Dan lihat..." Gadis itu menyapukan pandangannya ke seluruh tubuh Zayn sekilas sebelum akhirnya menatap wajah Zayn kembali. "Kau berhasil melewati masa kritismu. Kau sangat hebat."

"Mrs. Henry?" panggil seorang dokter tidak jauh dari tempat Giselle duduk.

Giselle sontak berdiri dan membalikkan badan. "Ya?" 

"Bisa kita bicara sebentar?" tanya dokter itu. "Menyangkut keadaan Mr. Malik."

Giselle menelan salivanya sendiri, lalu mengangguk. Dia mengelus pipi Zayn sejenak sebelum akhirnya menyusul sang dokter yang telah menunggu di meja kerjanya. Meja dokter itu sendiri masih berada di satu ruangan yang sama dengan Zayn, hanya saja terhalang selambu lebar. 

"Silakan duduk, Mrs. Henry," ucap dokter dengan menunjuk kursi di hadapannya. Giselle pun menurut, dan merasa tubuhnya semakin kaku ketika suasana menjadi sunyi.

"Ada apa, dokter? Apakah terjadi sesuatu pada perkembangan Zayn?" tanya Giselle dengan nada cemas yang begitu kentara.

Pria berbalut jas putih itu tersenyum tipis, lalu meminta suster di sebelahnya untuk mengambil sesuatu. Kemudian suster tersebut kembali tidak lama kemudian dengan membawa sebuah amplop besar berwarna putih. Dengan perlahan, sang dokter membuka amplop dan mengeluarkan dua lembar hasil rontgen kepala lalu meletakkannya di hadapan Giselle.

"Kau tau jika kami telah melakukan CT scan pada kepala Zayn, bukan?" 

Giselle mengangguk.

"Ini hasilnya." 

Giselle mengamati kedua gambar tengkorak di depannya. Di gambar pertama, tampak normal, seperti tulang tengkorak manusia pada umumnya. Di gambar kedua, di sisi samping tengkorak terdapat celah, dan ia yakin ini milik Zayn. Karena Giselle masih kurang mengerti maka ia meminta sang dokter untuk menjelaskan.

Dokter menuding celah di tengkorak tadi. "Ada luka trauma di bagian kiri kepala Zayn dan membuat tengkorak sedikit melunak namun tidak sampai retak, ini disebabkan karena adanya reaksi kepala dengan hantaman benda tumpul. Lalu celah ini, disebabkan oleh hantaman benda tumpul yang menembus kulit kepala dan sedikit bagian luar tengkorak Zayn. Celah itu bisa saja mengakibatkan pendarahan fatal dan membuat tubuh korban kaku seperti terkena stroke dan mematikan seluruh syaraf di tubuhnya. Dan syukurlah hal itu tidak terjadi pada Zayn. Hanya saja..." pria itu menatap Giselle dengan serius.

AspirationsWhere stories live. Discover now