LWT 2

99 35 5
                                    

[This FF does not mean to bring down any party. If there are similarities in names, places, etc, it is an accident.]

---

"Ah, begitu... It's okay... eh? sepertinya aku tidak- baiklah, Sir... yep... sampai jumpa."

Louis terus menumpukan pandangannya pada Emmily yang sibuk bertelepon dengan Mr. Watson, dosen terdermawan dalam memberi tugas di sepanjang perkuliahan Louis. Ia dapat mengasumsikan bahwa kuliah hari ini diliburkan dan Mr. Watson mendukung aksi demontrasi mahasiswa. 

"Apa?" ketus Emmily saat ia baru menyadari jika Louis sedari tadi menatapnya sambil bersandar di depan pintu rumahnya dengan alis yang terangkat -seolah meledek- dan kedua tangan yang bersedekap.

"Perkataanku benar, bukan?" tanya Louis, alisnya bergerak naik-turun menggoda Emmily.

"Tidak seluruhnya. Karena aku tak ingin ikut," jawab Emmily dengan tampang datarnya, lalu ia menggeser tubuh Louis sehingga memudahkannya untuk membuka pintu rumah kembali.

Louis menyamai langkah Emmily yang hendak menuju kamarnya. "Why?" tanyanya.

"Karena aku tak ingin, Tommo. Aku mengantuk," sahut Emmily sedikit jengkel. Keduanya telah membicarakan hal ini sejak pagi tadi.

"Padahal aku yang begadang semalaman," desis Louis menyindir.

"Aku juga begadang semalaman." Emmily membela diri.

"Kau begadang karena menyaksikan siaran perdebatan antara para aktivis dengan para dewan," sahut Louis lagi.

Louis tak lagi mengejar langkah Emmily, melainkan menuju jendela luas yang memaparkan pemandangan di luar sana. Emmily yang sadar Louis tak lagi bersuara kini justru berdiri di samping Louis.

"Kau tahu? Aku tak begitu faham dengan seluruh tujuan mereka," tutur Louis dengan pandangan fokus pada para mahasiswa yang melintasi jalanan raya di depan rumah Emmily. "Yang kutahu selain negeri ini terancam kacau balau adalah solidaritas."

Louis menatap Emmily yang menatap kosong ke arah luar. "Beruntunglah kau terus menolak ajakanku untuk ikut kegiatan mereka."

Mendengar itu, Emmily kontan menoleh pada Louis dengan alis yang bertaut. "Maksudmu?"

Louis tersenyum miring seraya beringsut ke arah pintu. Sesampainya di ambang pintu, ia berbalik untuk menghadap Emmily yang tengah menatapnya seakan ia adalah soal rumit matematika.

"Selain aku tak ingin memaksamu, aku tahu kau takut," ledek Louis. Seringaiannya kini terganti dengan cengiran terbodoh yang pernah Emmily lihat dari wajah Louis.

Baru Emmily membuka mulut, Louis lebih dulu memangkasnya. "Apa, weak girl?" ledekan Louis semakin menjadi seiring dengan tawanya yang mulai menggema.

Sebelum mendapat amukan dari Emmily, Louis lebih dulu keluar dan menutup pintu rumah Emmily dengan cepat. Tawanya yang seharusnya mereda, malah semakin menggelegar ketika mendengar Emmily mendumal di dalam sana.

Louis menggelengkan kepalanya sembari memegangi perutnya yang terasa keram. Membuat Emmily kesal adalah suntikan semangat tersendiri untuknya.

Kemudian ia berjalan hendak ke arah rombongan mahasiswa yang masih melintas di jalan.

"Hey, idiot! Siapa bilang aku gadis lemah?"

Langkah Louis terhenti ketika mendengar seruan yang mirip seperti nenek-nenek yang tinggal di sebelah rumahnya. Ah, ia hampir lupa walaupun begitu, pemilik seruan itu adalah kekasihnya sendiri.

Louis membalikkan badannya dan terperangah jengah. Lihat saja, Emmily berdiri di depan pintu dengan sneakers, skinny jeans, hoodie hijau toska kebesaran yang sebenarnya adalah milik Louis, dan topi baseball berwarna merah muda. Tangannya membawa tongkat baseball dengan gaya seakan tongkat itu adalah senapan polisi. Mata gadis itu memicing ke arah Louis.

"What the hell are you wearing?" pekik Louis tertahan, ia mendekat dan waspada jika para mahasiswa menertawakan gadis itu.

Emmily menurunkan tongkatnya menghadap tanah, sehingga tangannya bertumpu pada tongkat tersebut. "Tolong cabut ucapanmu, because i'm not a weak girl."

Sudut bibir Louis berkedut. "So?"

Emmily meletakkan tongkatnya di pundaknya, lalu tangannya yang terbebas berkacak pinggang. "So?" tanya Emmily balik. "Tentu aku akan maju," lanjutnya sambil mengedikkan dagu angkuh.

Louis tak bisa menahan tawanya karena betapa menggemaskannya gadisnya itu. "That's my girl," katanya. Tangannya bergerak mengacak rambut Emmily, membuat topi yang dikenakan gadis itu sedikit miring.

Emmily maju selangkah di depan Louis. "Apa lagi yang kita tunggu?" tanyanya pada Louis. "Ayo!" serunya lalu menarik pergelangan tangan Louis.

Louis berhenti, membuat Emmily juga berhenti. "Ada apa lagi?" tanya Emmily gemas.

Louis menggeleng sambil berdecak pelan. "Kita tidak akan maju dengan tongkat itu." Kedua matanya menunjuk tongkat baseball yang masih digenggam Emmily.

Emmily memutar kedua bola matanya, lalu melempar asal tongkat tersebut ke lantai teras rumahnya. "Ayo," ajaknya dengan menarik tangan Louis kembali.

"Hanya kau yang tak mengenakan almamater, kau tahu?" bisik Louis pada Emmily. Kini mereka telah bergabung dalam rombongan mahasiswa itu.

"Aku tak peduli. Yang terpenting warna hoodie yang kupakai selaras dengan almamater," balas Emmily dengan berbisik juga. Tetapi apa yang dikatakannya memang benar, almamater fakultas mereka adalah
hijau toska, persis seperti warna hoodie yang dikenakannya.

"Baiklah, baiklah. Kau selalu benar, love," kata Louis sambil merangkul Emmily.

"PANJANG UMUR PERJUANGAN!" teriak Emmily. Lalu diikuti oleh Louis dan mahasiswa lainnya. Membuat senyum Louis dan Emmily semakin mengembang.

---

kangen loui :/

AspirationsWhere stories live. Discover now