LJP 3

93 30 4
                                    

[This FF does not mean to bring down any party. If there are similarities in names, places, etc, it is an accident.]

---

4:30 PM.

Bryan Payne tak henti-hentinya mondar-mandir sejak tiga puluh menit yang lalu. Dengan tatapan yang sesekali melirik ke arah televisi yang masih menayangkan siaran langsung tentang apa yang terjadi di gedung dewan, cowok delapan belas tahun itu menggigit kukunya pertanda jika ia tengah diserang rasa cemas.

'Apakah Liam juga ikut dalam aksi itu?' adalah pertanyaan yang terus berputar di otaknya.

Karena jika memang benar, itu artinya Liam sedang dalam bahaya, dan Bryan tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi pada kakaknya itu. 'Liam selalu peduli pada konflik politik di dunia ini, tentu saja dia tak akan tinggal diam saat ini,' terka pikirannya.

Diambilnya ponsel silver yang tergeletak di atas nakas kamarnya, kemudian dalam hitungan detik layar telah memaparkan kontak Liam yang siap untuk dihubungi. Pergerakan Bryan terhenti ketika mengingat perdebatan yang cukup hebat antara dirinya dan Liam semalam. Dia tak pernah merasa semarah itu pada Liam sebelumnya.

Sebenarnya pun Bryan tak masalah jika dirinya tak mengambil jurusan politik di kuliahnya nanti -apabila Liam masih melarang, hanya saja ia butuh alasan mengapa. Liam tak pernah memberikan alasan yang jelas setiap ia bertanya mengenai politik dan sebangsanya.

Dan juga, dari ayah, ibu, bahkan Liam sekalipun memilih jalan di bidang politik. Lantas, mengapa Bryan tidak bisa?

Fine, Liam selalu mengatakan bila politik tak baik untuknya, namun mengapa politik bisa baik untuk Liam?

Lamunan Bryan membuyar ketika tayangan di televisi menayangkan kericuhan yang semakin menjadi di sekitaran gedung dewan. Teriakan terdengar, asap di mana-mana, dan ambulans pun mulai berseliweran. 'Apakah ini tidak baik yang dimaksud Kak Liam?' pikirnya lagi.

Dengan hati yang mantap, Bryan melenyapkan seluruh kegengsiannya dan mendial ikon telepon di layar ponselnya. Panggilan baru dijawab Liam pada nada sambungan ke enam.

Baik Bryan maupun Liam tak ada yang bersuara, tak ada suara dari Liam selain gemeresak yang berisik. "Kak Liam?" panggil Bryan dengan nada ragu, jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.

Tak ada jawaban selain gemeresak yang lebih berisik dari sebelumnya, membuat kecemasan Bryan kian bertambah. "Kak Liam? Kau dengar aku?" suara Bryan terdengar lebih khawatir dari sebelumnya.

"Oh, hey, Bri," sahut Liam akhirnya, membuat kedua bahu Bryan merosot saking leganya. "Maaf, aku tidak tahu jika kau menelepon. Tadi ponselku berada di dalam tas, mungkin tidak sengaja terangkat."

Bryan bersyukur dalam hatinya karena mendengar suara Liam -yang sepertinya- baik-baik saja. Bryan berdeham pelan. "Kak, aku melihat berita di televisi, apa kau-"

"Oh, yeah, aku di berada di sana. Apa kau melihatku? Astaga, apakah wajah tampanku ini terliput-"

"Kak Liam, stop it!" sela Bryan. Bagaimana bisa disaat dirinya mengkhawatirkan lelaki itu tetapi ia justru berkelakar tak jelas?

"Maafkan aku. Apa kau masih marah? Oh, harusnya aku tak perlu bertanya," oceh Liam lagi.

Bryan menghela nafas. "Kak Liam, apakah kau berada di tempat yang aman?" tanyanya tanpa menggubris ocehan Liam.

Untuk sejenak tak ada suara dari Liam selain suara deru nafasnya yang cepat. "Tentu saja. Semuanya aman di sini," jawab Liam setelah beberapa detik.

"Benarkah?" tanya Bryan memastikan. Entah mengapa ia merasa tak yakin dengan jawaban Liam.

"Yes, for sure."

"Kak?"

"Yep?"

"Cepatlah pulang. Ada yang ingin kuceritakan padamu," kata Bryan dengan suara yang pelan. Kakinya bergerak-gerak pertanda bahwa ia gugup. Karena jujur, ia tak pernah seperti ini sebelumnya.

Liam terdiam beberapa saat. "Aku tak janji akan pulang, maksudku aku tak janji bisa pulang cepat, Bri. Yang pasti kau tunggu saja aku di rumah. Mengerti?"

Bryan merasakan sedikit kekecewaan di hati terkecilnya. "Hm, baiklah."

"Good boy," canda Liam sambil terkekeh. "Bryan, sepertinya aku tak bisa lama-lama lagi, nanti-"

Ucapan Liam terjeda ketika ada yang meneriakinya, sebelum akhirnya sambungan terputus. Yang mana membuat Bryan mematung di tempatnya dengan pandangan kosong. Teriakan Maggie terus berputar di kepalanya.

"Liam, cepat! Aparat sudah melempari bomnya ke arah sini!"

Persetan! Bryan tak bisa diam saja. Dia harus memastikan semuanya sendiri. Pun, cowok itu mengenakan jaketnya dengan cekatan lalu bergegas keluar rumah setelah mengunci seluruh pintu dan jendela. Tak peduli jika bahaya bisa saja datang kapan pun.

---

HAHAHAHHAHANANGIS😭

AspirationsWhere stories live. Discover now