ZJM 5

99 24 1
                                    

[This FF does not mean to bring down any party. If there are similarities in names, places, etc, it is an accident.]

---

Giselle tak henti-hentinya merapalkan segala doa untuk Zayn yang masih belum sadarkan diri. Tangannya menggenggam erat salah satu tangan Zayn dan sesekali mengecupnya. Jika bisa, dia ingin ambulans ini secepatnya sampai di rumah sakit.

"Dia akan baik-baik saja. Percayalah," bisik sang pembina yang duduk di sebelahnya sembari mengusap punggungnya.

Giselle hanya mengangguk walaupun hatinya berkata lain, namun ia menepisnya. Dia terus menatap wajah Zayn yang saat ini darahnya telah dibersihkan serta masker oksigen yang terpasang. Sudah banyak air mata yang Giselle keluarkan, dan sudah berulang kali pula ia menghapusnya. Dia tahu Zayn tidak suka jika dirinya menangis, terlebih jika Zayn yang menjadi penyebabnya.

Tidak berselang lama, ambulans yang mereka tumpangi telah sampai di rumah sakit. Petugas medis dan rumah sakit dengan segera membawa brangkar Zayn menuju ruang intensif gawat darurat.

Para suster meminta Giselle dan sang pembina untuk menunggu di luar ruangan. Yang mana membuat perasaan Giselle gelisah.

Giselle mengecup kening Zayn singkat, dan berbisik, "Bertahanlah. Aku mencintaimu."

Setelahnya, mereka membawa Zayn masuk, sedangkan Giselle dan sang pembina menunggu di ruang tunggu.

Giselle menoleh ke sang pembina ketika beliau menyentuh pundaknya. "Kau duduklah. Aku akan membeli beberapa minuman."

Gadis itu mengangguk dan duduk di bangku yang tersedia di ruang tunggu, membiarkan sang pembina pergi entah ke arah mana. Karena yang kini ada di pikirannya hanyalah Zayn, Zayn, dan Zayn.

Giselle tidak bisa tenang di tempatnya, sesekali ia mendekati pintu di mana Zayn ditangani dan berusaha mengintip ke dalam walaupun hasilnya nihil. Kedua tangannya menarik rambut pirangnya ke belakang.

Kemudian dia berpikir, haruskah ia memberitahu keluarga Zayn tentang ini? Tapi, keluarga Zayn sangatlah jauh dari negara yang mereka tinggali sekarang. Lalu terlintas di pikirannya untuk lebih baik menghubungi keluarganya terlebih dulu, mengingat keluarganya hanya berbeda kota dengannya.

Giselle merogoh saku celananya, lalu ke saku seragamnya, tidak ada tanda-tanda kehidupan ponselnya di sana. Dengan cemas ia membongkar isi tasnya dan ia tetap menemukan benda pipih kesayangannya itu. Hal menyedihkan yang harus ia terima lagi, ponsel pemberian Zayn telah hilang.

Kedua mata Giselle bertumpu pada ransel Zayn yang tergeletak di bangku. Mungkin dirinya bisa meminjam ponsel Zayn. Dia pun membuka ransel Zayn dan langsung mencari keberadaan ponsel milik Zayn. Salah satu hal menyebalkan dari Zayn bagi Giselle adalah, Zayn selalu meletakkan ponselnya di dalam ransel sehingga ia sering kesulitan jika akan menghubungi lelaki itu.

Kegiatan Giselle terhenti ketika melihat secarik kertas yang menarik perhatiannya. Dilihat dari warnanya yang berwarna kuning pudar, Giselle rasa itu aneh. Karena Zayn bukan tipe pelajar yang suka mengoleksi kertas. Bahkan ia jarang mencatat.

Rasa penasaran bercampur dengan rasa iseng di benaknya, yang kemudian dengan penuh keyakinan Giselle meraih kertas itu. Setelah dibuka, ternyata bukan hanya ada satu kertas, melainkan dua lembar yang di dalamnya berisi tulisan tangan Zayn yang teramat rapi, bahkan lebih rapi darinya. Kelebihan Zayn.

Alisnya berkerut ketika ia membaca dua kata pertama di lembar pertama kertas itu, "Teruntukmu, Giselle."

Jadi, apakah isi tulisan ini untuknya? Ini adalah hal langka yang Zayn lakukan sejauh yang Giselle ketahui. Demi memuaskan rasa penasarannya yang kian memuncak, ia pun membaca dengan seksama satu persatu kata yang Zayn torehkan di sana.

"Teruntukmu, Giselle.

Hey..

Uhmm-

Aku bahkan tak tahu harus memulai ini semua dari mana. Aku tak tahu darimana aku bisa memberitahumu betapa luar biasanya dirimu. Yang aku tahu adalah bahwa bersamamu berarti kita bisa melewati apapun. Kau tahu, G? Aku sangat bangga denganmu untuk semua yang telah kau capai. Dan aku sangat senang bahwa aku bisa memanggilmu 'sahabat terbaikku'. Dan aku tidak pernah bisa membayangkan memiliki sahabat yang lebih baik dalam hidupku. Terima kasih telah menjadi sahabatku sampai saat ini. Kata-kata tak akan pernah cukup mewakili rasa betapa beruntungnya aku memiliki seseorang sepertimu di hidupku. Seseorang yang tetap menjadi cahaya di hatiku, baik itu saat gelap mau pun terang.

And i.. I just... I love you so much..

Aku tak siap dan tak akan pernah siap melihat bentuk responmu ketika mengetahui ini. Maafkan aku karena rasa ini kian bertambah disaat aku berusaha keras menyangkalnya. Maafkan aku karena telah menjadi sahabat yang tidak tahu cara berterima kasih atas seluruh perlakuanmu padaku sejauh ini. Maafkan aku karena aku mencintaimu. Kau boleh marah padaku, tapi kumohon jangan kecewa terlalu dalam padaku, ya. Kau tahu aku tidak pernah menyukai cara air mata sedihmu luruh ke wajahmu yang selalu sempurna di mataku. Aku tidak membual. Sungguh.

Jika kau bertanya 'mengapa?', well, aku tak memiliki jawaban untuk itu. Untuk apa alasan jika rasa ini tumbuh tanpa alasan? Tapi, ada yang harus kau tahu, G.

Memilih orang yang ingin kau bagikan hidup bersamamu adalah salah satu keputusan paling penting yang pernah setiap manusia buat. Karena ketika itu salah, itu mengubah hidupmu menjadi abu-abu. Dan terkadang kau tak menyadarinya sampai suatu pagi kau terbangun dan menyadari bertahun-tahun telah berlalu. Kita berdua tahu tentang itu, Giselle. Kehadiranmu telah membawa warna agung dalam hidupku, bahkan di saat paling kelam. Dan aku adalah orang yang paling beruntung yang masih hidup untuk hadiah itu. Aku harap aku tidak menerimanya begitu saja, tapi kurasa aku mungkin melakukannya begitu saja. Karena terkadang kau tak melihat bahwa hal terbaik yang pernah terjadi padamu telah duduk tepat di hadapanmu, bahkan tepat di bawah hidungmu. Tapi itu juga tidak apa-apa. Karena aku menyadarinya, tak peduli di mana kau berada, atau apa yang kau lakukan, atau dengan siapa kau bersama, aku akan selalu, secara jujur, benar-benar, sepenuhnya mencintaimu. Mungkin jika kau tak menginginkannya... Baiklah. Seperti seorang kakak yang mencintai seorang adik, dan seorang sahabat yang mencintai seorang sahabat. Aku akan terus berdiri menjaga mimpi-mimpimu, Giselle. Tak peduli seberapa anehnya hal itu.

Kau tahu? Aku menulis ini ketika aku menunggumu di kafetaria tempat di mana kau akan mengikuti audisi modeling pertamamu. Kau sangat cantik, G. Tidak akan ada yang sebanding denganmu, aku bersumpah. Walaupun aku bahkan tak yakin kau akan membaca ini.

I love you, Giselle Henry.

Yours sincerely,

ZM."

Giselle menatap nanar dua lembar kertas yang berisi tulisan tangan Zayn itu. Satu tangannya menutup mulutnya, berusaha menahan isakan. Bahkan tanpa ia sadari air matanya telah menetes selama ia membaca tulisan-tulisan yang tak pernah ia sangka akan Zayn tulis.

Audisi modeling pertama.

Giselle ingat jelas, dan itu sudah enam tahun yang lalu, ketika keduanya masih berusia lima belas tahun. Giselle ingat, ketika ia tidak percaya diri dan memaksa Zayn bangun dari tempat tidurnya hanya demi menemaninya mengikuti audisi pertamanya. Giselle ingat ketika saat itu walaupun Zayn tidak mengatakannya langsung, tetapi lelaki itu tetap mendukungnya. Zayn menunggu dan menemaninya selama seharian penuh.

Yang lebih mengharukan adalah, jadi selama ini ia tak merasakan rasa ini sendirian?

---

miss him a lot

AspirationsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang