LWT 6

84 23 3
                                    

[This FF does not mean to bring down any party. If there are similarities in names, places, etc, it is an accident.]

---

Sesampainya di rumah sakit setelah mengikuti intruksi dari Liam, Louis berteriak memanggil dokter dan suster agar menangani Emmily yang setengah sadar. Dia tidak peduli dengan tatapan orang-orang padanya.

Tidak berselang lama, dua orang suster datang dengan membawa brangkar. Dengan sangat pelan, Louis menidurkan tubuh Emmily di atas brangkar. Sambil menuju ruang gawat darurat, Louis menggenggam tangan Emmily dan berulang kali berbisik, "Kau harus kuat," pada Emmily.

Tidak butuh waktu lama bagi mereka untuk memasuki ruang gawat darurat. Sang dokter langsung melakukan tugasnya.

"Maaf, Tuan, tapi Anda dimohon untuk menunggu di luar," tegas salah seorang perawat.

Louis terdiam sesaat, lalu menatap wajah Emmily dengan sangat lekat dan mengecup keningnya.

"Kau kuat. Okay," bisiknya sekali lagi pada Emmily, sebelum akhirnya ia menegakkan tubuhnya.

Kakinya baru akan melangkah, tapi tangan Emmily masih menggenggam tangannya semakin erat. Bibirnya menggumam tidak jelas dengan mata yang terpejam.

"Emmily, aku akan menunggu di luar, ya?" kata Louis lembut.

Bukannya melepas genggamannya, tangan Emmily semakin erat, bahkan membuat buku jarinya memutih. Jika begini, Louis semakin tidak kuasa untuk meninggalkan Emmily barang sejenak.

Louis menatap satu persatu dokter dan perawat yang ada di ruangan serba putih itu. Mr. Robert--Sang dokter akhirnya menghela napas diiringi anggukan kepala.

"Sebaiknya Anda tetap di sini," kata Mr. Robert, membuat Louis menghembuskan napas lega.

"Kau dengar?" Louis kembali menatap wajah Emmily. "Aku tidak akan pernah meninggalkanmu, lagi."

---

Louis mengerjapkan matanya ketika merasakan sebuah tangan mengusap pipinya dengan lembut. Tubuhnya terasa pegal, terutama lehernya karena posisi tidurnya yang tidak benar.

Dia baru ingat jika ia tertidur dengan posisi duduk di samping brankar Emmily yang tadi tengah terlelap dikarenakan pengaruh obat.

Lelaki itu seketika mengangkat kepalanya ketika baru menyadari bahwa ia terbangun karena tangan seseorang. Tidak lucu jika itu tangan makhluk halus.

Akan tetapi, bibirnya justru mengukir senyum lebar ketika mendapati makhluk halus-nya menatapnya dengan mata terbuka dan senyuman lembut.

"Kenapa bangun? Kau tidak tampan saat bangun," ledek Emmily, walaupun suaranya pelan.

Louis menyeringai. "Kau juga kenapa bangun? Kau tidak semenyebalkan ini ketika tidur," sarkasnya.

Emmily memajukan bibir bawahnya. "Tahu begitu kau tidak perlu membawaku ke sini tadi."

"Bercanda, sayang," ujar Louis lembut dengan kekehannya. Dadanya terasa longgar kembali ketika melihat gadisnya mulai pulih seperti biasanya, walaupun untuk bernapas masih harus dibantu selang oksigen.

Emmily menggerakkan tubuhnya agar bergeser. "Sini," katanya sembari menepuk tempat di sebelahnya.

Louis menaikkan alisnya tidak mengerti.

"Berbaring di sampingku, Louis Bodoh."

"Tidak muat, Emmily Cantik."

"Kau mengatakan aku gemuk?"

Louis menyengir. "Tidak, tidak." Dengan begitu, ia menuruti kemauan Emmily, berbaring di tempat yang tersisa. Beruntung tubuhnya tidak bongsor, sehingga tidak membuatnya takut terjengkang ke belakang secara memalukan.

Emmily menempelkan kepalanya pada dada Louis, menikmati sensasi kenyamanan yang hanya ia dapatkan ketika bersama lelaki itu. Keduanya saling berhadapan dan terdiam beberapa saat.

"Bagaimana perasaanmu?" tanya Louis. Sambil mengelus puncak kepala Emmily, seolah gadis itu adalah sesuatu yang harus diperlakukan sehalus mungkin.

"Feeling better," sahut Emmily melirih. "Tapi... Ak- aku masih takut."

"Hey." Louis menundukkan wajahnya dan mengelap setetes air mata yang keluar dari sudut mata Emmily. "Everything is okay."

"Aku takut kehilanganmu," lirih Emmily lagi.

Louis beringsut lebih mengeratkan dekapannya pada tubuh kurus Emmily. Tangannya tak hentinya mengelus lembut kepala Emmily.

"Kau tidak akan kehilanganku, begitu juga sebaliknya. I'm here for you. Whatever happened, i will keep and love you."

Perkataan Louis seolah menjadi penenang sekaligus penyembuh dari setiap rasa sakit di diri Emmily. Ia merasa sangat sangat sangat beruntung bisa memiliki Louis di hidupnya.

Emmily berterima kasih pada Semesta karena telah mengirim seseorang yang sangat mulia seperti Louis. Kata-kata tidak akan pernah mampu mewakilkan rasa betapa mencintanya ia pada lelaki itu.

---

so close with ending

AspirationsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang