LWT 5

101 31 7
                                    

[This FF does not mean to bring down any party. If there are similarities in names, places, etc, it is an accident.]

---

5:20 PM

Semuanya terjadi begitu cepat. Dari perginya Emmily ke arah gedung dewan lalu menghilang, hingga Louis yang kini tengah terduduk di bangku yang berada di samping mobil ambulans dengan seorang perempuan tenaga medis di sebelahnya.

Perempuan itu tengah fokus menjahit luka di lengan kiri Louis yang cukup lebar dan dalam. Meskipun begitu, Louis sedari tadi hanya diam, luka-luka di tubuhnya seakan tak memberi rasa sakit untuknya. Sepasang matanya yang biasanya tajam dan berbinar, kini redup dan hampa. Bahkan noda debu banyak menempel di wajah dan bagian tubuhnya yang lain.

Tatapannya kosong, namun tidak dengan fikiran dan hatinya. Kedua organ penting miliknya itu tengah kalut, berdebat untuk menyalahkan Louis atas segala yang terjadi beberapa jam terakhir.

Ketika dirinya lari, tiba-tiba lelaki itu kehilangan keseimbangan sehingga terguling ke aspal. Beruntung ada seseorang --yang Louis tidak ingat siapa, dan membawanya ke sini.

Setelah selesai, perempuan tenaga medis itu pamit untuk mengobati pasien lain, yang hanya dibalas anggukan dan gumaman terima kasih oleh Louis. Kemudian Louis menyandarkan kepalanya pada dinding mobil seraya memejamkan matanya dengan erat. Entah kenapa kepalanya terasa sangat berat.

Louis menekuk lututnya dan membenamkan wajahnya di antara lekukan lututnya.

Dan untuk pertama kali setelah berusia enam tahun, ia menangis. Ya, seorang Louis Tomlinson benar-benar menangis.

Isakan yang keluar dari bibirnya terdengar menyakitkan bagi siapapun yang mendengarnya. "Emmily," gumamnya sekali lagi, sembari berharap Emmily akan menyahut dan mengatakan ia tengah bermain petak umpat dengan Louis.

Tetapi kenyataan memang sangat pahit, Emmily tak kunjung menunjukkan dirinya. Louis tak pernah merasa dadanya sesesak ini. Batinnya tak henti-hentinya menyalahkan dirinya.

Seandainya dia bisa lebih tegas melarang Emmily. Seandainya dia juga menemani Emmily. Terlalu banyak kata seandainya yang membelenggu hatinya. Namun, kosa kata 'seandainya' tersebut hanya akan tetap seperti itu, tidak akan mengubah penyesalan Louis yang berada di tingkat teratas.

Kedua tangan Louis mengepal erat, menahan diri untuk tidak meninju mobil ambulans di belakangnya.

Dia merasa gagal menjadi seorang kekasih sekaligus lelaki. Lelaki macam apa yang tak becus hanya untuk menjaga kekasihnya?

Tak bisa dibayangkannya jika ia harus menjalani hari tanpa Emmily. Gadis itu adalah alasan dirinya untuk bisa tetap bertahan sampai sekarang. Jika tidak ada Emmily, mungkin Louis sekarang telah tiada di dunia ini dikarenakan bunuh diri akibat depresi yang ia derita dulu.

And see, gadis itu berhasil menghalangi niat bodoh sekaligus membuat Louis bangkit dari keterpurukannya. Serta membuat Louis kembali menjadi dirinya sendiri yang konyol, namun tetap bodoh.

Entah mendapat bisikan dari mana, Louis berdiri lalu mulai melangkah dengan langkah lemas ke arah gedung dewan kembali. Dia berjalan di jalur pejalan kaki, dan masih dengan tatapan kosong ke depan. Seluruh benda atau apa pun yang dilewatinya, seolah turut menyalahkannya.

Louis berhenti, kedua tangannya mengusap kasar wajah dan rambutnya. Dia sudah tak peduli akan semengerikan apa keadaannya sekarang. Lalu matanya menangkap beberapa mahasiswa yang masih melawan aparat sialan.

Terutama mahasiswa dengan almamater biru dan berambut ikal. Wajahnya terlihat sangat emosi saat tangannya mengambil kembali bom gas air mata lalu melempar balik ke arah gedung dewan. Perlawanan yang cerdik, pikir Louis.

AspirationsWhere stories live. Discover now