NJH 1

539 77 32
                                    

[This FF does not mean to bring down any party. If there are similarities in names, places, etc, it is an accident.]

---

"... Ketua dewan telah menyerahkan pasal-pasal tersebut kepada Presiden. Namun, Presiden belum mengesahkan dikarenakan-"

Suara dari pembawa acara berita di televisi berhenti karena Niall mematikannya dengan remot kontrol di tangannya. Mendengkus singkat, dilemparnya remot tersebut ke sembarang sofa yang didudukinya.

"Negeri ini tak baik lagi," gumamnya sembari menyenderkan kepalanya pada sandaran sofa. Kelopak matanya perlahan tertutup seiring napasnya yang bermaknakan kegusaran.

"Come on, apakah para dewan sialan itu ingin mengulangi kejadian 21 tahun yang lalu?" dengkusnya tak habis pikir.

Well, Niall mengakui dirinya bukan lah seorang rakyat yang peduli pada masalah politik yang ada di Negaranya sendiri sekalipun. Selagi itu tak merugikan harga diri ataupun nyawanya, maka ia tak akan ambil pusing.

Namun, Ilmu Politik telah menjadi jurusan kuliahnya saat ini. Yang mana mau tak mau ia harus berpikir pusing mengenai masalah politik yang terjadi di Negaranya.

Akan tetapi, 'berpikir pusing' baginya tidak berarti ia juga turut andil. Niall menduga atau bahkan seolah telah mengetahui apa yang akan terjadi setelah keputusan sepihak dari pemerintah.

Apa lagi jika bukan aksi demontrasi dari mahasiswa?

Niall merasa ia tak harus membuang tenaganya hanya untuk berbondong-bondong menyudutkan pemerintah dan para aparat dengan mendatangi gedung Dewan Perwakilan Rakyat.

Cowok bermarga Horan itu tak juga bermaksud tak mendukung gerakan aksi tersebut, bahkan ia mendukung. Hanya saja ia terlalu malas untuk turun langsung ke lokasi. Karena di pikirannya, makan dan rebahan adalah pilihan yang lebih baik.

Ada satu hal lagi yang Niall duga akan terjadi, bahkan beberapa menit-

'Drrtttt drrttt'

Getaran ponselnya membuatnya sedikit tersentak dan sontak membuka kedua matanya. Belum selesai ia membatin, dugaannya telah terjadi. Mata birunya bergerak melirik ke layar ponselnya yang tergeletak manis di atas meja berkedip lama. Sambil menegakkan tubuh, tangannya menyambar benda pipih tersebut.

Sudut bibir Niall sedikit terangkat. "Nice try, buddy." Pun dengan begitu ia menggeser layar dan mendekatkan benda itu ke telinganya.

"Niall's here," sapanya sambil terkekeh walaupun ia tahu orang yang berada di seberang panggilan tengah panik.

"Aku yakin kau sudah mendengar berita itu," kata orang itu.

"Berita apa?" tanya Niall berlagak tak mengetahui apapun.

Terdengar helaan napas di sambungan telepon. "Ayolah Niall, jiwa kritikmu pasti sedang berkoar sekarang."

Niall tertawa singkat. "Kau mengerti aku, Felix."

"Niall, kau mengerti apa tujuanku menghubungimu malam ini." Bukan pertanyaan, bukan pula pernyataan, melainkan penegasan.

"Felix, kau tahu aku tak akan turut dalam aksi apa pun," terang Niall. Kali ini nada suaranya terdengar serius.

"Mengapa? Kau-"

"Felix," peringat Niall.

Niall dapat mendengar napas gusar Felix yang menderu. "Baiklah, aku mengerti. Tapi setidaknya kau hadir dalam pertemuan setengah jam lagi."

"Maaf, aku tak bisa," sahut Niall cepat. Ia benar-benar tak berminat sedikitpun walaupun dirinya terlanjur dalam organisasi yang dipimpin Felix. Hey, bahkan Niall dipaksa untuk masuk ke dalam organisasi tersebut.

"Ni, please, untuk kali ini saja," mohon Felix dengan suara yang rendah.

Niall terdiam. Kalaupun ia menghadiri pertemuan itu, keputusannya tak akan berubah. Dan, ini telah sering terjadi.

"Please." Suara Felix terdengar lebih rendah dan memohon. Tak biasanya Felix memohon sampai seperti ini.

Niall memutar bola matanya. Sepertinya tak ada salahnya ia mengeluarkan aspirasinya di depan anggota organisasi itu. "Baiklah," tukasnya.

Terdengar helaan napas lega dari Felix. "Setengah jam lagi, di ruangan BEM, kenakan almamater," celoteh Felix yang bagi Niall seperti balita yang baru bisa bicara.

"Aku bukan junior, aku tahu," ujar Niall sebelum akhirnya memutuskan sambungan panggilan begitu saja.

"Finally, kegiatan rebahanku malam ini gagal." Dia mulai mendumal pada dirinya sendiri sambil berdiri untuk mengganti pakaiannya.

"It's okay," tambahnya sambil terus berjalan ke kamar mandi, yang mana kalimat tersebut seakan bermakna 'sialan'.

"I said, it's okay! Argh!" erang Niall memekik lalu disusul suara pintu kamar mandi yang ditutup dengan keras sehingga menimbulkan suara debaman yang nyaring.

Entah apa yang merasuki lelaki itu...

---

<3

AspirationsWhere stories live. Discover now