LJP 1

221 55 25
                                    

[This FF does not mean to bring down any party. If there are similarities in names, places, etc, it is an accident.]

---

Liam membaca artikel demi artikel dari ponselnya dengan sangat seksama. Setelah bermenit-menit, ia berdecak. Lalu, tangannya bergerak lincah mengetik nomor seseorang.

Lelaki itu mendekatkan ponselnya pada telinganya. Terdengar nada sambungan putus-putus yang berarti belum ada jawaban. Hingga suara ke enam, panggilan tersebut baru dijawab.

"Hallo, Li? Ada apa?" tanya orang di seberang telepon.

"Maggie, bagaimana jika besok kita semua berkumpul pagi-pagi sekali?" tanya Liam langsung pada intinya. Dahinya menyerngit seiring dengan kakinya yang bergerak resah.

"Memangnya dalam rangka apa? Tak biasanya kau meminta kita semua berkumpul lebih dulu?" tanya Maggie seolah ajakan Liam barusan adalah hal yang langka dilakukan olehnya.

Liam menyunggingkan senyum tipis. "Aku akan liar tetapi dengan tujuan yang benar," sarkasnya.

Terdengar gelakan tawa dan sorakan dari sana, membuat Liam sadar bahwa Maggie tak sendiri saat ini. "Okay, okay, aku tahu apa maksudmu. Baiklah, besok pukul 6 pagi," kata Maggie di sela-sela tawanya.

Lalu, mereka mengobrol banyak setelah sekian lama tak berjumpa karena urusan kuliah masing-masing. Liam dan Maggie memiliki hubungan sahabat yang dekat sejak di bangku menengah pertama. Tenang, tak ada rasa lebih dari 'teman' di antara keduanya, karena, yeah, Maggie telah memiliki kekasih.

Sejak kuliah dan berbeda fakultas, Maggie bergaul dengan mahasiswa-mahasiswa di fakultasnya yang pergaulannya terkenal sedikit liar. Maggie pernah memperkenalkan Liam pada teman-temannya, dan bagi Liam mereka tak seburuk yang orang-orang pikirkan. Mereka konyol, frontal, dan tanpa drama. Membuat ikatan kepercayaan masing-masing dari mereka lebih kuat ketimbang persahabatan yang penuh kejaiman.

Namun, tetap saja, Liam terlalu kutu buku dan serius untuk bergabung dalam pergaulan mereka. Maksudnya, Liam merasa humornya terlalu rendah jika dibandingkan dengan mereka. Maka dari itu jumlah hari Liam berkumpul bersama mereka dapat terhitung dengan jari setiap minggunya.

"Kak Liam?" panggil seseorang di ambang pintu kamar Liam.

Liam menoleh lalu memberi intruksi untuk menunggu sebentar. "Baiklah, Maggie, besok akan kuhubungi lagi. Sampai jumpa." Lalu sambungan telepon pun terputus.

Liam segera menoleh pada adiknya dan tersenyum. "Hai, Bryan, masuklah."

Bryan masuk dan duduk tepat di sebelah Liam. "Ada keperluan apa?" tanya Liam. Karena sangat jarang Bryan mencarinya jika bukan karena suatu keperluan.

Bryan melirik Liam sesaat, lalu menunduk dengan helaan napas, seoalah ada sesuatu yang mengganjal di dalam pikirannya. "Maaf, tadi aku tak sengaja mendengar pembicaraanmu dengan Kak Maggie," katanya jujur dengan pelan.

Liam mengangguk sambil tersenyum kaku, merasa aneh dengan suasana canggung seperti ini dengan adiknya sendiri. "Fine, never mind. Lalu?" tanya Liam.

Bryan menghembuskan napasnya perlahan -lagi-, lalu menatap Liam. "Apa maksudmu kau akan liar dengan tujuan yang benar?" tanyanya.

Liam terdiam, lalu beberapa detik kemudian tawanya meledak. Bryan sendiri bingung apa yang lucu dari pertanyaannya barusan.

"Kurasa aku tak bercanda," gumam Bryan namun masih mampu didengar Liam dengan jelas, yang mana justru membuat Liam semakin meledakkan tawanya.

Bryan menanggapi dengan dengkusan kasar. Walaupun keduanya kakak-beradik, namun watak keduanya berbanding balik. Liam dikenal dengan sosok yang ramah dan peduli lingkungan, sedangkan Bryan dikenal dengan sosok cuek dan wajah datarnya. Tetapi keduanya sama-sama memiliki otak yang encer dalam bidang akademik mereka masing-masing. Dan semua orang pun tahu meskipun mereka sering berdebat, mereka sangat saling menyayangi.

Liam berdeham ketika tawanya telah mereda. "Lalu kau pikir aku akan menjadi liar seperti bad boy di novel-novel fiksi?" tebak Liam.

Bryan terdiam. Liam terkekeh. "Tentu tidak, Bri. Ini bukan liar yang seperti itu, namun lebih ke dalam arti hal lain."

"Seperti?"

Kini giliran Liam yang terdiam, namun beberapa detik setelahnya senyuman terukir di wajah Liam seiring dengan tangannya yang menyentuh bahu adik 18 tahunnya itu. "Kau tak akan mengerti."

"Aku akan mengerti," tukas Bryan cepat.

"Tidak, Bri, di usiamu yang sekarang, kau masih termasuk golongan remaja labil dalam berpikir logis," jelas Liam.

"Apa karena 'liar' kau melarangku untuk mengambil kuliah jurusan politik sepertimu?" tanya Bryan serius.

Senyum di wajah Liam memudar seketika. "Apa yang kau bicarakan? Kita sudah sering membahas ini. Lebih baik kau mengambil sastra, karena-"

"Karena politik tak baik untukku," pangkas Bryan, kini tatapannya semakin menajam. "Iya kan?! Ayolah, Li, kupikir saat kuliah aku bebas menentukan pilihanku sendiri, tapi ternyata kau justru membatasiku."

"Aku tak bermaksud membatasimu. Aku hanya tidak ingin sesuatu yang buruk terjadi padamu, karena hanya kau keluarga yang kumiliki saat ini," terang Liam pelan.

Bryan menepis tangan Liam yang di bahunya dengan kasar. "Sesuatu yang buruk apa?"

Liam diam, tak bisa menjawab, atau lebih tepatnya tak ingin menjawab.

"See? Kau bahkan tak bisa menjawabnya. Bagaimana bisa aku menjadi dewasa jika kau tak membiarkanku memilah antara mana yang baik dan mana yang buruk dari pilihanku?! Bagaimana?!" bentak Bryan sambil berdiri, membuat Liam sedikit tersentak dan sontak mendongak.

Liam berdiri dan berusaha meraih lengan Bryan, namun Bryan menghindar. "Bryan-"

"Apa?! Tak bisakah aku mendapatkan apa yang aku inginkan sekali saja?! Apa yang salah dengan politik? Fine, jika politik memang salah untukku, tapi mengapa benar untukmu? Mengapa kau membuatku merasa seolah dunia tak berpihak kepadaku sedikitpun? Kau bilang-"

"BRYAN, STOP!" bentak Liam, tetapi Bryan tak menggubris.

"Aku bukan lagi bocah lelaki yang suka meminta mainan baru setiap harinya. Kini aku mempunyai pilihan sendiri atas masa depanku. Tapi, kau tak membiarkan aku memilih itu sendiri. Oh, lebih tepatnya kau mengaturku-"

'Plak!'

"AKU BILANG BERHENTI!" bentak Liam, membuat Bryan seketika bungkam.

Liam menatap tangannya yang hilang kendali hingga menampar Bryan. Bahkan ia tak pernah melakukannya, ini adalah kali pertama ia bermain tangan.

Tatapannya beralih ke Bryan yang tengah menatapnya nanar dengan deru napas yang cepat.

"Bryan, maafkan aku, aku tak bermaksud untuk menamparmu," pinta Liam pelan. Sorot matanya penuh penyesalan.

Bryan menyeringai. "Bagus, Kak. Aku tahu apa maksudmu sekarang."

Bryan berbalik dan hendak melangkah, namun ia berhenti. "Kuharap kau tak lupa jika mendiang Ayah dan Ibu pun juga memilih politik dulunya," katanya dengan suara yang tertahan dan tanpa menatap Liam. Setelah itu, ia pergi dari kamar Liam menuju kamarnya lalu menutup pintu dengan sangat keras.

"Justru karena politiklah Ayah dan Ibu telah menjadi mendiang, Bri," lirih Liam.

Lelaki itu mengusap kasar wajahnya. Semua begitu terasa sulit untuk ia jalani. Bryan dengan sikap keras kepalanya, dan peran serta tujuannya dalam mengambil jurusan Ilmu Politik.

---

ada yang udah nonton film penumpasan pengkhianatan g30s/pki? aku belum masa:(

AspirationsWhere stories live. Discover now