LJP 2

119 41 11
                                    

[This FF does not mean to bring down any party. If there are similarities in names, places, etc, it is an accident.]

---

Liam menyiapkan seluruh barang yang ia butuhkan lalu memasukkannya ke dalam ransel hitamnya. Ia bercermin sekali lagi untuk memastikan dirinya telah siap.

Tangan kekar Liam bergerak memutar knop pintu kamarnya, dan tepat saat itu pula Bryan melewati kamarnya. Bryan berhenti sejenak, keduanya bertatapan untuk waktu yang lama.

Liam tercenung ketika menyadari tatapan tak bersahabat di mata Bryan. Tatapan yang pertama kali ia dapat dari adiknya selama delapan belas tahun.

Kemudian tanpa berkata sepatah kata, Bryan melengos menuju kamarnya. Liam mengerjap beberapa kali lalu berjalan ke depan pintu kamar Bryan yang sengaja dikunci dari dalam.

Liam menunduk sejenak sebelum akhirnya mengetuk pintu. Sekitar lima menit berlalu, Bryan tak kunjung merespon barang hanya menyahut sedikitpun.

Liam menghela napas lelah. "Bri?" panggilnya, berharap Bryan menyahut. Namun nyatanya tak ada sahutan apapun. Tetapi tetap saja, Liam pun tahu jika adiknya itu pasti mendengarkan.

"Aku akan pergi," ucap Liam. Ia menjeda sesaat, sebelum melanjutkan, "Pastikan dirimu tak keluar dari rumah untuk hari ini saja- Tunggu, jangan mengira jika aku melarangmu, itu hanya anjuran karena hari ini kondisi di luar sedang kacau."

"Karena aku tahu kau adik yang keras kepala, maka aku mengunci seluruh pintu dan jendela di rumah ini." Lalu Liam terkekeh. "Aku yang bodoh atau bagaimana? Kau kan memegang kunci cadangan."

Suasana rumah benar-benar sunyi mencekam. Kekehan Liam pun terdengar hambar.

Lelaki itu menghembuskan napas berat. "Bri, tolong maafkan aku untuk semalam. Aku benar-benar tak bermaksud- i mean, aku hanya kehilangan kendali. Yeah, you know what i mean, right? Kau harus tahu biar bagaimanapun kau tetap adikku dan aku tetap kakakmu, aku tetap menyayangimu. Semua yang kulakukan demi kebaikanmu, aku bersumpah. Kau akan mengerti nanti."

"Ah maksudku suatu saat nanti," ralat Liam cepat. "So? Nomor ponselku masih aktif jika kau membutuhkanku. Jaga dirimu baik-baik."

Liam terdiam beberapa detik, ia lebih mencondongkan telinganya pada pintu, tapi ia tak mendengar apapun. Ia berharap Bryan bisa memaafkannya secepatnya.

"Baiklah, aku pergi, selamat tinggal." Dengan begitu Liam menata langkah menuju keluar rumah.

Baru beberapa langkah, ia berhenti dan berbalik menghadap pintu kamar Bryan. "Maksudku sampai jumpa."

Untuk yang kesekian kalinya ia menghembuskan napas dengan berat, kemudian melangkahkan kaki ke arah garasi untuk mengambil mobilnya. Setelah memanaskan mobil beberapa menit, Liam langsung menancap gas menuju kampusnya. 

Lima belas menit perjalanan, Liam telah sampai di pelataran parkir kampusnya. Hari masih cukup pagi untuk beraktifitas, bahkan kendaraan yang lewat di jalanan masih sepi. Namun Maggie dan teman-temannya terlalu rajin hingga mereka sudah menunggunya sekarang.

Liam bergegas menuju taman yang berada di belakang gedung fakultasnya, di mana teman-temannya berada sekarang.

"Liam James Payne, everybody!" seru Maggie saat Liam hanya berjarak beberapa langkah dari mereka. Empat teman laki-lakinya pun sontak bersorak.

Liam tersenyum senang kemudian memeluk mereka satu persatu. "Long time no see, eh?" ucapnya.

"Kau yang terlalu sibuk dengan buku tebalmu, Payne," sahut salah satu dari mereka. Liam hanya meresponnya dengan kekehan.

"Begini, guys. Tujuanku mengajak kalian berkumpul pagi ini adalah-"

"Untuk mengajak kami ikut aksi demontrasi mahasiswa hari ini," pungkas mereka semua dengan bersamaan.

Liam melongo dan mengerjapkan mata. "Y- ya, benar. Bagaimana kalian bisa tahu?" tanyanya tak bisa menahan rasa penasarannya.

"Ayolah, Li, kami menggunakan televisi di rumah bukan hanya untuk film-film dewasa terbaru," kelakar Maggie. Disusul anggukan setuju dengan yang lainnya.

Liam mengangguk mengerti. "Mari kita sarapan dan persiapkan semuanya," ajak Liam.

"Tenang, aku yang menraktir," sambung Liam saat mereka semua hanya diam. Sontak mereka semua bersorak senang.

"Aku tak sabar menggunakan ini," ucap salah satu dari mereka.

Liam menoleh dan seketika membelalakkan matanya saat melihat orang itu membawa balok kayu. Lalu saat melihat yang lainnya, ternyata mereka membawa benda-benda keras lainnya.

Liam menggeleng keras. "No, no, no!" serunya. "Kita hanya akan menyuarakan aspirasi bangsa ini, bukan untuk tawuran antar pelajar."

"Tap-"

"Tanpa kekerasan," pangkas Liam dengan penuh penekanan.

Kelima temannya itu saling bertatapan lalu menghembuskan napas pasrah. "Fine!" seru mereka lalu melempar benda-benda itu ke sembarang arah.

Liam mengacungkan jempolnya. Ia berharap hari ini akan baik-baik saja. Terutama Bryan. Ia tak ingin terjadi sesuatu pada keluarga satu-satunya yang ia miliki.

---

nice to meet ya, what's your name?

AspirationsWhere stories live. Discover now