HES 2

102 38 10
                                    

[This FF does not mean to bring down any party. If there are similarities in names, places, etc, it is an accident.]

---

"Hazza, kau sudah cukup sarapan?"

Harry memutar kepala untuk menoleh kepada Ibunya yang telah menanyakan hal yang sama selama satu jam terakhir.

Ia tersenyum tipis. "Ibu sudah menanyakan hal itu berulang kali. Bahkan aku sarapan bersama Ibu dan Ayah tadi," jawab Harry tanpa menatap Ibunya karena kini ia tengah sibuk mencari sepatunya di samping bupet.

"Ah, ini dia," gumam Harry begitu ia menemukan sepatu yang ia maksud. Kemudian cowok itu mendudukkan diri di salah satu bangku yang ada di ruang makan, ia mengangkat kakinya agar lebih mudah dalam mengikat tali sepatu.

"Barangkali kau ingin menambah," sahut Mrs. Styles yang kini juga duduk di hadapan Harry.

"Aku bukan anak kecil lagi, aku tahu porsiku yang sesungguhnya," kata Harry disambung kekehan kecil.

Mrs. Styles terdiam sejenak. "Bukan anak kecil lagi. Putraku bukan lagi anak kecil, ia sudah beranjak dewasa. Betapa cepatnya waktu berlalu," batinnya berbisik.

"Bu?"

Mrs. Styles sedikit tersentak ketika Harry meniup wajahnya pelan. "Ibu melamun. Ada yang menganggu fikiran Ibu?" tanya Harry serius. Kini cowok itu telah selesai memasang tali sepatunya.

Nah, Mrs. Styles pun tak mengerti mengapa dirinya harus melamun.

Akhirnya beliau menggeleng sembari tersenyum sebagai jawaban. Tangannya merapikan almamater kampus yang Harry kenakan. "Kau putraku yang paling tampan," pujinya.

Harry mengedikkan bahunya. "Well, itu karena aku satu-satunya putra Ibu," sahut Harry.

"Aku serius, kau tampan sekali," jawab Mrs. Styles tetap kekeh.

Harry menelengkan kepalanya. "Jika dibandingkan dengan Ayah, bagaimana?" Bersamaan dengan pertanyaannya, senyum nakal terbit di bibirnya, membuat kedua lesung pipi kentara di pipinya.

Mrs. Styles tergelak singkat. "Ayahmu pria tertampan pada masanya, namun kini ia memiliki saingan yang ternyata adalah putranya sendiri."

Harry pun tak dapat menahan derai tawanya. "Kalau Ayah masih di sini, ia pasti akan memuji dirinya sendiri," katanya di sela-sela tawanya.

"Sshh, sudah, jangan membuat mata Ayahmu berkedut hanya karena kita membicarakannya."

Masih dengan tawa masing-masing, keduanya berjalan ke arah pintu utama rumah mereka. Saat tepat di teras rumah, mereka berhenti dan saling berhadapan kembali.

"Apakah saat kau akan ke kampus terlebih dahulu?"

"Tidak. Kami semua berkumpul di titik kumpul yang telah disepakati," jawab Harry. "Hari ini kuliah diliburkan."

Mrs. Styles hanya mengangguk mengerti. Kedua matanya menatap putra semata wayangnya dengan lekat, kedua tangan mulusnya menangkup pipi Harry dengan lembut.

"Kami sangat bangga padamu," ucap Mrs. Styles penuh keyakinan. Sedetik setelah itu, kedua matanya mulai berkaca-kaca.

Harry terdiam sejenak, lalu memeluk sang Ibu dengan erat. "Ibu tahu? Hal yang kutunggu dan kunanti selama hidupku adalah ucapan bangga dari Ibu dan Ayah. Thanks for everything, Mom," lirih Harry yang juga tak kuasa menahan harunya.

"You deserve it, we are lucky parents because of you," lirih Mrs. Styles juga.

"No, aku yang seharusnya mengatakan itu, aku putra yang beruntung karena memiliki orang tua seperti kalian."

Mrs. Styles mengecup kepala Harry. "I love you, Hazza."

"I love you more, Mom."

Keduanya pun menguraikan pelukan masing-masing. Mrs. Styles mengusap ujung matanya yang masih berair. "Jika Ayahmu belum berangkat, pasti ia akan mengatakan Ibu cengeng."

"Yeah, padahal dirinya pun juga begitu," timpal Harry. Mrs. Styles terkekeh.

"Bisa aku pergi?" tanya Harry. Kedua matanya menatap teduh mata sang Ibu, seolah meyakinkan bahwa semuanya akan dan selalu baik-baik saja.

Mrs. Styles menghela napas lalu mengangguk. "Jaga dirimu baik-baik. Jika sudah selesai, cepat pulang."

Harry mengangguk. "Pasti." Lalu ia memeluk Ibunya, kemudian mengecup kedua pipi sang Ibu. "Ibu dan Ayah juga harus menjaga diri baik-baik."

Mrs. Styles hanya mengangguk. Kemudian Harry melangkahkan kaki untuk bergegas menuju kampusnya.

Harry melambaikan tangannya pada Ibunya. "Dah, Bu! Sampaikan maafku pada Ayah karena tak bisa menjemputnya nanti!" serunya lalu tubuhnya hilang termakan belokan.

Mrs. Styles balas melambaikan tangannya, lalu tanpa sadar tangannya menyentuh dadanya. "Ada apa ini? Mengapa aku memiliki firasat buruk sejak semalam?"

Kemudian beliau menarik dan menghembuskan nafas perlahan. "Mungkin karena aku terlalu mencemaskannya. Ingat, dia sudah besar," peringatnya pada dirinya sendiri.

"Oh Tuhan, lindungilah putraku selalu."

---

yeay akhirnya udah nonton film penumpasan pengkhianatan g30s/pki yang durasinya 4 jam lebihh ^^ ((←_←))

AspirationsWhere stories live. Discover now