ZJM 3

89 31 3
                                    

[This FF does not mean to bring down any party. If there are similarities in names, places, etc, it is an accident.]

---

4:17 PM

"Zayn! Apa kau mendengarku?!"

Suara itu beserta gemeresak dari alat handy talky milik Zayn. Zayn sontak mendekatkan benda tersebut ke telinganya. Giselle dan yang lainnya pun turut mencondongkan diri agar dapat mendengar suara dari sang pembina dari tim medis.

"Yes, sir," sahut Zayn. Firasatnya mengatakan sesuatu telah terjadi.

"Zayn, titik kedua sekarang!" perintah sang pembina.

Seluruh anggota kelompok Zayn dengan sigap mengambil perlengkapan yang mereka simpan di mobil ambulans.

"Sir, apa yang terjadi?" tanya Zayn.

"Terjadi kerusuhan di sini. Sekelompok mahasiswa memberontak, dan para aparat mulai melempari senjata kimia," jelas sang pembina. Ouch, firasat Zayn memang benar ternyata.

"Baik, dimengerti," ujar Zayn, lalu meletakkan handy talky-nya ke dalam sakunya.

"Zayn, semua sudah siap," lapor Giselle pada Zayn.

Zayn mengangguk mengerti. Setelah mengenakan masker masing-masing, mereka semua bergerak cepat ke titik yang telah disebutkan sang pembina tadi, yang kebetulan tak jauh dari posisi mereka.

Ketika sampai di titik tersebut, yang ditangkap oleh pandangan mereka semua adalah para mahasiswa yang berlarian dengan panik. Tanpa diberi perintah, anggota-anggota Zayn segera berpencar untuk memastikan sekaligus membantu adanya korban atau tidak. Sedangkan Giselle bersama Zayn, jangan tanyakan mengapa, tentu karena Zayn yang meminta.

"Medis, tolong aku!" pekik seorang lelaki beralmamater hijau toska dan seorang gadis yang terlihat lemah di bawah papahannya.

Zayn dan Giselle sontak berlari ke arah lelaki itu dan sama-sama memapah gadis itu menuju ke tempat yang lebih aman.

"Sepertinya gadis ini kesulitan bernafas karena menghirup gas," jelas lelaki itu.

"Baik, terima kasih," ucap Zayn. Dengan begitu lelaki itu pergi berlari meninggalkan mereka ke arah dimana tadi ia datang.

Zayn mendudukkan gadis itu di bangku kafe yang sengaja tutup, semengara Giselle mengambil alat-alat pembantu pernafasan di dalam koper yang dibawanya.

Dengan cekatan Giselle mencepol rambut cokelat gadis itu dengan asal, lalu memasangkan masker oksigen ke sebagian wajah gadis itu.

"Santaikan fikiranmu dan bernafaslah dengan perlahan," perintah Zayn, gadis itu perlahan mengangguk dan mengikuti perintah Zayn dengan baik.

Setelah merasa nafasnya lebih teratur dari sebelumnya walaupun tak sepenuhnya, gadis itu melepas masker oksigen yang menutupi hidung hingga mulutnya. "Terimakasih banyak..."

"Aku Giselle, dan dia Zayn," kata Giselle diiringi anggukan. "Apa ada keluhan?" tanyanya kemudian.

"Aku hanya merasa sedikit lemas," lirih gadis itu.

"Lebih baik kau kami antar menjauh dari sini. Atau mungkin kau bisa menghubungi keluarga atau temanmu untuk menjemputmu," tutur Giselle. Gadis itu mengangguk dan mulai menggunakan ponselnya untuk menghubungi seseorang untuk menjemputnya.

"Medis!" seru seseorang.

Zayn dan Giselle saling berpandangan sesaat sebelum akhirnya mengangguk, seolah mereka berbicara melalu tatapan masing-masing. Pun dengan begitu Zayn langsung beranjak dari tempatnya dan menuju ke sumber suara, sedangkan Giselle tetap di tempatnya menjaga gadis itu.

Dari tempatnya, Giselle melihat Zayn yang memandu pengaturan nafas yang benar pada seorang mahasiswi yang tampaknya juga sama keadaannya seperti gadis yang kini ia temani.

"Kau bisa menyusul dan membantunya, kakakku sedang dalam perjalanan," ungkap gadis itu tiba-tiba, membuat Giselle refleks menoleh ke arahnya.

"Kau yakin?" tanya Giselle memastikan.

Gadis itu mengangguk dan tersenyum tipis. "Mereka lebih membutuhkanmu."

Giselle memandangi wajah gadis itu yang sudah tak sepucat tadi walaupun bibirnya kini tampak kering dan pecah-pecah. Gadis bersurai pirang kotor itu pun akhirnya menghela nafas lega, setidaknya gadis itu jauh lebih baik.

"Baiklah, terima kasih. Jaga dirimu, dan perbanyak mengonsumsi mineral," katanya memberi saran, sebelum akhirnya menyusul Zayn yang tampak kewalahan sendiri.

"Syukurlah kau datang," ujar Zayn ketika Giselle langsung menindaklanjuti pasien yang ditangani Zayn.

Ketika Giselle hendak mengambil sesuatu di kopernya, tak disangka rupanya Zayn juga hendak melakukan hal yang sama. Dan jadilah, tangan mereka saling berpegang untuk beberapa saat.

Namun Giselle lebih dulu menjauhkan tangannya dan melakukan hal lain. Sementara Zayn di tempatnya tengah tersenyum nakal walaupun tatapannya tak mengarah pada Giselle.

"Don't you dare!" ancam Giselle nyaris berbisik. Jarak keduanya yang sangat dekat membuat Zayn dapat mendengar desisan kecil dari gadis itu.

"C'mon, G. Aku tahu kau ingin mengulanginya lagi dan mengaturnya menjadi slow motion," goda Zayn dengan berbisik dan mendekatkan bibirnya pada telinga Giselle.

Otomatis Giselle merasakan bulu di seluruh tubuhnya meremang, reaksi yang sama setiap kali Zayn berbisik tepat di telinganya. Dan yang paling menyebalkan adalah kedua pipinya yang seketika terasa memanas.

Zayn menyeringai jahil saat menyadari wajah fokus Giselle yang memerah.  Tangannya terus melakukan kegiatannya mengatur tabung oksigen.

"Damn for taking a chance in striction, but more fucking because i like it," batin Giselle memekik tak keruan.

---

nahloh (apaan)

AspirationsWhere stories live. Discover now