Aku melongo terkejut dan segera menatap tajam jalanan yang kupijaki. "Mbak, ini hutan beneran apa gimana dah, masa ada cacing Mba mau makan ribet banget harus angkat kaki ih," kataku sudah berimajinasi bagaimana susahnya saat makan ada cacing melewati kursi.

"Harus terbiasa, Mbak, ntar juga kadang suka ada ular,"

Aku menggeleng kepala tidak percaya, "Mau makan apa lagi di ospek sih, Mba, saya balik aja dah sengsara mau makan doang jadi perkara buset dah," ocehku. Arden mengerjaiku apa gimana sih? Dendam kah dia?

Pelayan tersebut terkekeh kecil, "Kalo balik saya gak ada senter lagi,"

"Lah, Mbak anterin saya dulu lah ih,"

"Kalo mau balik lagi ntar di terjang harimau,"

"Ini restoran apa kebun binatang sih, dah lah lanjut jalan dah Mba,"

Tak lama aku melihat beberapa meja di sana, aku bisa melihat kehidupan akhirnya. "Mejanya disini kalo disini cuma ada cacing aja, Kakaknya gak akan ketemu yang lainnya,"

"Terus, meja saya yang mana?"

Pelayan tersebut kembali berjalan mendekati meja yang tertata rapih piring, sendok dan garpu. Aku duduk saat di persilahkan oleh pelayan tersebut, nampaknya Arden belum datang. "Nanti kalau mau pesan boleh pencet bel nya, Kak,"

"Oke, Mba terimakasih."

Aku menatap keliling ruangan memastikan bahwa cacing yang di bilang pelayan itu tidak ada. Di sana ada beberapa tamu yang tengah memakan pesanan mereka dengan tenang mungkin pelayan tadi hanya menakutiku saja. Aku menatap jam yang menunjukan bahwa Arden sudah telat 2 menit lalu. Aku menatap diriku di kamera ponsel menatap bagaimana keadaanku saat ini. Cantik, aku cantik. Iya, memang aku pede tingkah dewa itu bawaan diriku sejak lahir. "Hey, sori telat dikit gue kena macet,"

Aku mendongak mendapati Arden mengusap pelipisnya yang basah dan duduk di depanku. "Gapapa gue juga baru duduk, gue juga tau butuh perjuangan ke ruangan ini," kataku disana membuat Arden terkekeh. Mungkin dia mengerti maksudku. "Lo mau ajak makan aja nyari perkara, Den. Tau darimana sih lo tempat ginian?" cerocosku.

Arden tersenyum manis padaku, percayalah manis sekali dia dengan senyumnya. "Lo cantik."

Iya aku tau itu, tidak usah di kasih tau akupun tau. Tapi dia mengalihkan kan?! "Orang nanya malah bilang cantik, ya emang gue cakep udah gak usah kasih taupun. Jawab deh pertanyaan gue,"

Arden mendengus, "Gak ada romantisnya pisan lo ah. Iya gue tau dari temen-temen gue gitu, lucu aja first date kita kesini,"

Apa dia bilang? First date? Ini sebuah kencan?

"Lah kok muka lo jadi merah gitu,"

Aku mendongak cepat, "Ini karna blush on tau, pedean lo," alibiku. Aku tidak menyangka ini sebuah kencan bagi Arden, kupikir hanya sebuah ajakan makan malam saja. "Oh, iya, iya gue ngerti gengsi cewek,"

Aku mendelik, "Iya deh, yang pengalaman sama cewek-cewek mah,"

"Lah jangan cemburuuuu," katanya.

Aku merutuki diriku, merutuki mengapa aku bicara seperti itu karena memang terlihat seakan sedang cemburu. Tapi percayalah aku tidak, aku saja belum yakin dengan perasaanku pada Arden aku hanya ingin bilang saja. Sudahlah, memang Anna si bodoh mengekspresikan diri. Arden yang menyadari canggungnya diriku langsung saja mengibaskan tangannya ke udara dengan senyum simpulnya, "Udah, udah, mending pesen aja dah. Gue ada rekomendasi dari temen katanya ada menu yang enak disini. Mau gue pilihin apa elo aja?"

Metanoia Hikayelerin yaşadığı yer. Şimdi keşfedin