Selangkah lebih jauh

Start from the beginning
                                    

"Suruh Alvin kan bisa Buun." Baskara beralih memeluk gulingnya. Diam sejenak setelah menyadari sesuatu dan mengerjap cepat.

Silvia adalah adik kandung Sintya yang juga ibu dari Alvino, kebetulan Silvia mempunyai toko kue legendaris yang disukai semua kalangan, termasuk Sintya.

"Mentari sebaiknya pergi sendiri aja, Nyonya. Tuan Baskara juga kelihatan masih ngantuk banget, kalau dipaksa nganterin Tari nanti bahaya di jalan." ujar Mentari pelan dengan kaki bergerak gelisah.

Mentari juga tidak bisa memikirkan bagaimana nasibnya jika harus bersama Baskara yang jelas-jelas hatinya inginkan namun sulit untuk dimenangkan. Bernapas ditempat dan waktu yang sama namun memiliki keinginan dan hati yang berbeda.

Mentari sudah berusaha semampunya untuk menjauhi Baskara selama berada di mansion dan kampus, dan kini saat otak dan takdir membawanya untuk pergi dan memulai awal baru, justru Baskara yang akan mengantarnya, dan Mentari yakin ia tidak akan tetap baik-baik saja setelahnya. Perasaannya akan terus berkembang dan segar seperti baru, dan itu akan sangat menyakitkan karena hanya ia yang merasakannya.

Baskara bangun seketika saat suara Mentari masuk digendang telinganya, membuat kepalanya sakit karena gerakan tiba-tiba itu. Ia kemudian memukul-mukul pelan kepalanya dengan pandangan sinis ke arah Mentari. "Mau ngapain lo ke stasiun? Gue gak mau nganterin."

Jantung Mentari berdegup keras, tidak nyaman dengan pandangan tajam yang Baskara layangkan padanya. Ingin sekali Mentari meneriaki Baskara menyuruhnya bersikap biasa saja padanya, berbicara dengan biasa layaknya sesama. Bukan dengan nada angkuh penuh arogansi.

"Kamu ini kenapa sih bangun bangun langsung galak gitu?! Bunda yang suruh kamu! Kamu mau nolak?!" Sintya menatap Baskara tajam dengan kedua tangan bertolak pinggang. Baskara menganggap angin lalu bentakan Sintya, tatapannya tetap menghunus pada Mentari yang bergerak gelisah di ambang pintu kamarnya.

Mentari menunduk dengan mata memanas dan tenggorokan tercekat menyakitkan. "Maaf Tuan, Mentari bisa pergi sendiri. Permisi Nyonya." Dengan langkah cepat Mentari berjalan menuruni tangga, melewati dapur dan sampai kepintu belakang.

Mentari melihat bibi Nolan menyapu di bawah pohon mangga, lumayan jauh dari tempatnya berdiri, kemudian berteriak. "Mentari pergi dulu ya, Bi! Mentari bakal hati-hati kok. Dadahh!" Mentari melambaikan tangannya pada bibi Nolan dan menutup pintu cepat.

Secepat pintu itu tertutup secepat itu pula air matanya terjun, mata dan alisnya memerah karena menahan tangis sejak tadi. Mentari mengembuskan napas sesaknya perlahan, tersenyum kecil saat memandang mansion megah Adhyasta dari belakang bangunan itu.

Tempat ia tinggal sudah hampir empat tahun lamanya, tempat ia tinggal bersama cintanya yang tidak lama lagi akan kandas setelah pria lain mengucapkan ijab qabul atas dirinya.

"Semuanya bakalan baik-baik aja." ucap Mentari dengan senyum lebar. Kakinya melangkah ringan menuju pangkalan ojek diujung gang komplek ini. Hanya perlu berjalan lima menit, kemudian sampai.

"Ke stasiun, Bang!" Mentari menepuk pundak salah satu tukang ojek yang sedang asik bercengkrama dengan temannya.

"Eh! Siap, Neng." ujar tukang ojek itu dengan sikap hormat, mengambil alih tas jinjing Mentari kemudian menyerahkan helm.

"Mau pulang kampung ya, Neng?"

"Iya, Bang."

"Kan belom lebaran, kok udah mau pulang kampung, Neng."

"Yee si Abang! Emang harus lebaran dulu baru boleh pulang kampung." Mentari menepuk pundak tukang ojek itu seraya terkekeh pelan yang diikuti teman-teman tukang ojek yang lainnya.

Unpredictable Journey [Tamat]Where stories live. Discover now